Medan (ANTARA News) - Penahanan Walikota Medan, Abdillah, oleh KPK diharapkan bukan hanya untuk memenuhi target semata atau demi kepentingan kelompok tertentu, tetapi benar-benar dimaksudkan agar hukum di Indonesia benar-benar ditegakkan. Pengamat dan praktisi hukum di Medan, Syafaruddin, SH, M.Hum, kepada ANTARA News, Kamis, mengatakan jika hal itu yang dilakukan KPK seharusnya bukan hanya Abdillah yang ditahan, tetapi juga kepala daerah yang lain. Masih banyak bupati atau walikota lain yang juga diduga melakukan korupsi, katanya. Sebagai institusi penyidik, menurut dia, KPK diyakini pasti memiliki data dan informasi mengenai dugaan korupsi para kepala daerah yang lain itu. "Jika KPK memang serius dalam pemberantasan korupsi seharusnya bukan Abdillah saja yang ditahan," katanya. Ia menjelaskan, penahanan terhadap seorang kepala daerah yang diduga melakukan korupsi sebenarnya baik guna menimbulkan efek jera dan "shock therapy" bagi pejabat yang lain. Tetapi upaya penahanan itu diharapkan tidak pilih kasih sehingga tidak terkesan ada kepentingan lain terhadap proses hukum dengan mengorbankan yang bersangkutan dan warga Medan. Apalagi, lanjutnya, dalam praktik korupsi yang diyakini tidak hanya dilakukan oleh satu orang, tetapi besar kemungkinan melibatkan orang lain. "Jika dikaitkan dengan APBD seharusnya diperiksa juga yang menyetujui pengesahan APBD itu," tambah Dekan Fakultas Hukum Universitas Medan Area itu. Penahanan Abdillah itu dinilai telah menimbulkan rasa prihatin di hati umat Islam karena sosoknya dikenal sebagai pemimpin yang merakyat dan mampu memadukan konsep pembangunan kota dengan pembinan agama. "Abdillah merupakan pemimpin yang mampu merubah Kota Medan 180 derajat," kata Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, KH Zulfikar Hajar, LC. Menurut dia, keprihatinan itu diyakini bukan hanya dirasakan oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat agama lain. Abdillah merupakan sosok pemimpin yang sangat memperhatikan pembinaan agama sehingga menerapkan konsep Medan Madani dan religius.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008