Jakarta (ANTARA News) - Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) Kemas Yahya Rahman menyatakan sulit bagi pihaknya menemukan bukti pelanggaran dalam penyerahan aset milik Salim Grup ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hingga saat ini, kata Kemas Yahya kepada wartawan di Jakarta, Selasa, Kejagung belum menemukan adanya pelanggaran dalam penyerahan aset milik Salim Grup ke BPPN. "Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) katakan tidak terjadi penyimpangan," ujarnya. Tidak ditemukannya pelanggaran oleh BPK dalam penyerahan aset Salim Grup tersebut, kata Kemas, telah membuat Kejagung sulit untuk mengusut kasus BLBI. Meski mendapat kesulitan dalam penyidikan kasus BLBI ini, menurut dia, Kejagung tetap harus mencoba untuk tetap mengusut. "Kita sedang mencari apakah terjadi kesalahan baik dari sisi perdata maupun pidana," papar Kemas. Dalam kasus pengucuran dana BLBI, Anthony Salim (Salim Grup) telah menerima kucuran dana dari BI sebesar Rp52 triliun. "Namun setelah aset dijual BPPN nilainya hanya Rp19 triliun dan negara dirugikan Rp33 triliun. Nah, kalau terjadi pelanggaran perdata atau pidana seperti ini, siapa pelakunya itu yang sedang kita cari?" tanya Kemas. Tentang audit BPK tahun 2006 yang mengatakan ada penyimpangan, Kemas meralat bahwa tidak ada audit yang dilakukan BPK tahun 2006 itu yang mengatakan ada penyimpangan. "Tidak ada audit BPK yang menyatakan terbukti ada penyimpangan. Terakhir kali BPK mengaudit BPPN tidak ada penyimpangan yang dilakukan oleh Salim Grup,"tegas Kemas. Berdasarkan Master Settlement Aquisition Agreement (MSAA) untuk membayar utang sebesar Rp52 triliun tersebut, BPPN menetapkan Salim Grup membayar dengan aset 108 perusahaan dan uang cash sebesar Rp100 miliar. Sejak itu juga Salim Group menerima Surat Keterangan Lunas (SKL) dari pemerintah. Pada bagian lain, Kemas menjelaskan bahwa persoalan BLBI itu ada tiga bagian yakni soal penyaluran dana BLBI, soal penggunaan dan penyelesaiannya. Dikatakannya, persoalan yang sudah selesai adalah penyaluran dan penggunaan dana yang diselesaikan pemerintah melalui Inpres No 8/2002. Sementara persoalan yang belum selesai adalah masalah penyelesaian BLBI.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008