Jakarta (ANTARA News) - Tahun 2008 ini merupakan Tahun Kunjungan Wisata Indonesia atau Visit Indonesia Year 2008 yang telah diluncurkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar). Sejumlah persiapan telah dilakukan untuk menyukseskan VIY 2008, meskipun banyak tantangan yang perlu dihadapi, misalnya soal keterbatasan dana, persaingan dengan Malaysia, kondisi penerbangan dan sebagainya. Berkaitan dengan upaya menyukseskan VIY 2008, pekan ini ANTARA News melakukan wawancara khusus dengan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Berikut petikan wawancara tersebut: ANTARA News: Pada tahun 2008 akan ada Olimpiade Beijing, sementara Malaysia juga memperpanjang program Visit Malaysia Year 2007 hingga pertengahan 2008, apakah hal ini bisa mengancam Visit Indonesia Year 2008? Jero Wacik (JW): Bahwa ada Olimpiade Beijing dan Visit Malaysia Year yang diperpanjang, ya kita bersaing. Menurut saya pariwisata itu memang persaingan. Dalam bersaing itu ada kelebihan dan ada kelemahan. Dimana ada kelebihan di situ kita tonjolkan, kelemahan kita tutupi. Itu hal biasa, kita tidak pernah takut pada persaingan. Tahun lalu kita tanpa program Visit Indonesia Year sementara Malaysia ada Visit Malaysia Year 2007, kita juga bersaing. Toh kita kita bisa menarik 5,5 juta wisatawan. Masyarakat lebih melihat sisi lemahnya kita. Dikatakan kenapa kita telat, dianggap saya terlambat mempromosikan VIY 2008. Padahal kita grand launcing-nya 26 Desember (2007), sedangkan Malaysia grand launcingnya 6 Januari (2007). Persiapan kita juga lama, sama dengan Malaysia. Ini cuma masalah gaungnya. Kalau anggarannya 80 juta dolar untuk iklan, gaungnya tentunya besar. Kalau kita anggarannya cuma 15 juta dolar se tahun, ya gaungnya tentu lebih kecil. ANTARA News: Bagaimana dengan promosi VIY 2008 ke luar negeri, apakah hanya ke 12 pasar utama? JW: Kita ada beberapa 'promotion mix', dengan promosi melalui website, juga melalui road show yaitu kita datang ke negara itu, mengikuti tourism mart, misalnya di Berlin, London yang menyelenggarakannya tiap tahun, atau di Cina. Kita ikut semua promosi pariwisata itu. Ditambah lagi ada pasa-pasar baru yang kita datangi. Pasar-pasar lama untuk pariwisata Indonesia adalah Jepang, Australia, Korea, Taiwan, dan sejumlah negara Eropa. Sedangkan pasar baru adalah Cina, India, Timur Tengah dan Rusia. Turis Rusia kini mulai banyak. Dulunya mereka menggunakan pesawat carteran, tapi sekarang menggunakan pesawat reguler (SQ). Turis itu jika dia punya keinginan, dia akan cari jalannya. Sama dengan turis-turis Eropa. Turis di sana banyak yang bertanya bagaimana caranya ke Indonesia jika Garuda tidak ada. Kata siapa?, Enggak ada Garuda, mereka akan cari yang lain. yang penting kita terus promosi. Umumnya mereka menggunakan SQ, dari Eropa-Singapura kemudian Indonesia, atau Eropa-Kuala Lumpur-Indonesia, atau Eropa-Bangkok-Indonesia. Tapi rute itu makin mahal, sehingga sekarang tercipta rute baru lewat selatan. Dari Amsterdam, London, Paris, Madrid, ada 25 penerbangan per hari ke Timur Tengah, ke Saudi, Abu Dhabi, Dubai dan Qatar, dengan pesawat-pesawat baru. . Dari Eropa ke Timur Tengah itu biayanya murah, dan kemudiah sudah ada penerbangan dari Timur Tengah ke Jakarta, dengan Gulf Air, Emirates, Qatar Air, dan Ettihad. Baru-baru ini waktu di Berlin saya dekat Qatar Air dan Emirates. menanyakan kenapa tidak terbang langsung dari Qatar atau Dubai ke Bali. Mereka menyatakan berminat dan saya hubungi Dephub untuk membuka pintu penerbangan itu. Setelah dicoba ternyata penumpangnya penuh, dan sejak 1 Januari sudah ada Qatar Airways yang ke Bali dengan pesawat berbadan lebar. Itu terobosan-terobosan kita ANTARA News: Bagaimana dengan promosi lewat jaringan televisi internasional, misalnya lewat CNN? JW: CNN adalah salah satunya. Tapi kemudian saya lihat-lihat dengan anggaran kita yang tidak terlalu besar. Anggaran kita untuk promosi lewat media massa 3 juta dolar AS, untuk televisi saja 1,2 juta dolar, sementara Malaysia 25 juta dolar. Itu perbandingannya, ibaratnya kita pakai bambu runcing, mereka pakai meriam, tapi kalau kita kuat semangatnya, meriam bisa kalah. Banyak juga negara yang tidak CNN minded. Karena Malaysia banyak anggarannya, ya mereka "tembaki" saja semuanya, termasuk CNN. Kita berpikir juga, dengan uang sedikit kalau semua caranya begitu nanti banyak mubazir. Contoh, orang Korea tidak lihat CNN, juga orang Jepang, jadi ngapain kita promosi lewat CNN di Jepang. Lebih baik untuk caranya, saya undang televisi Jepang ke Indonesia. Tahun lalu kita mengajak 30 televisi Jepang dengan Miss Jepang. Kita angkat dia sebagai duta wisata Indonesia untuk Jepang. Program itu saya namakan "Seeing is believing". Dia saya minta ke Bali, bersama wartawannya yang shooting dirinya dan objek-objek wisata, serta tari-tarian di Bali. Demikian juga di Jakarta, dan Yogyakarta, selama 10 hari. Tahun lalu kedatangan turis Jepang bagus sekali. Promosi ini efektif, dan biayanya kita tanggung renteng. misalnya tiketnya dari Garuda, hotelnya ada beberapa yang gratis, demikian juga restorannya. Biayanya jadi tidak terlalu besar, bahkan ada sisa. ANTARA News: Bagaimana kerja sama Depbudpar dengan KBRI-KBRI untuk promosi VIY ini? JW: Semua Kedubes sudah saya minta jadi ujung tombak promosi pariwisata Indonesia. Kita subsidi dengan bahan materi promosi. Deplu sendiri sudah ada anggaran, jadi anggaran di Deplu dan anggaran di Depbudpar ini sebetulnya juga uangnya rakyat. Jadi kita saling tanggung lah. ANTARA News: Masih banyak keluhan mengenai keimigrasian di bandara, bagaimana upaya untuk mengatasi hal ini. JW: Sebelumnya cuma 29 negara yang dapat fasilitas Visa On Arrival (VOA), kemudian menjadi 43 dan kini sudah 63 negara. Jadi secara sistem sudah benar, kini tinggal bagaimana pelayanan di bandara, jangan sampai lama. Di Bandara Ngurah Rai Bali, yang paling banyak kedatangan wisatawan asing, tadinya ada 10 pintu imigrasi, sekarang sudah ada 30. Itu gebrakan saya di awal-awal jadi menteri. Sebab dengan 10 pintu pada saat sibuk, jam 2-6 sore itu antrean panjang sekali. Di Bandara Cengkareng belum sebanyak di Bali, masih bisa dihandle. tapi masih ada 1-2 petugas imigrasi yang kepentingan pribadinya lebih menonjol, ada yang mengakali-akali turis, kemarin ada yang tertangkap di Bali dan sudah langsung dipecat. Juga di Cengkareng masih ada premanisme, khususnya kalau turis datang pada tengah malam. ANTARA News: Akan ada tambahan untuk Visa on Arrival. JW: Sementara ini belum. Dengan 63 negara ini, pasar-pasar besar sudah tercakup di situ. ANTARA News: Selain target jumlah turis, Bagaimana target berikutnya, misalnya lama kunjungan. JW: Pertama adalah jumlahnya, kemudian lamanya tinggal. Saat ini rata-rata kunjungan adalah tujuh hari, kita coba tambah jadi sembilan hari. Lenght of stay sangat tergantung banyaknya atraksi. Tapi sasaran yang sebenarnya adalah berapa banyak turis itu belanja. Daripada tinggal 10 hari tapi belanja sedikit, lebih baik dia disini delapan hari tapi belanjanya banyak. Belanja kepada rakyat inilah yang menjadi sumber kesejahteraan rakyat. ANTARA News: Apa kriterita bahwa sebuah destinasi itu baik. JW: Ada tiga kriteria destinasi. Pertama destinasi yang positif, indikatornya, selalu mendatangkan repeater (turis yang datang berulang-ulang). Contohnya Bali, juga Palembang, dan Bandung. Kedua adalah destinasi zero, disini turis datang dan merasa sudah cukup, tidak ada rencana datang lagi. Ketiga adalah destinasi negatif, yakni setelah pulang ia merasa jera dan mencaki-maki. Ini bisa menjadi bad promotion. Oleh sebab itu perlu sapta pesona, perlu kampanyekan sadar wisata. Daerah yang sadar wisatanya baik, akan positif destinasinya. Di Bali bahkan ada turis yang sudah 20 kali datang. ANTARA News: Seberapa besar potensi Rusia dan Arab yang diharapkan menjadi pasar baru pariwisata Indonesia? JW: Rusia itu memang negara yang OKB-nya (Orang Kaya Baru) banyak sekali. Turus rusia yang ke Bali umumnya bawa uang cash di kopornya. Karena kaya, ada yang memberi tips di restoran sebesar 100 dolar. Di Bali orang seang dengan turis Rusia. Jumlahnya tidak banyak, tapi belanjanya banyak. Mengenai Arab, kita juga banyak promosi kesana. Kita itu Arabian Tourism Mart di Dubai dan Abu Dhabi. Turis dari Arab umumnya datang satu keluarga, bersama anak, istri dan pembantunya, Naiknya harga minyak dunia membuat mereka makin kaya. Ada istilah yakni UUP, atau ujung-ujungnya pariwisata. Siapa pun kalau sudah punya uang dan kemudian punya hari libur, pasti ingin pariwisata. pariwisata sudah merupakan kebutuhan. ANTARA News: Ada kritik bahwa dalam VIY 2008 tidak terlihat kesamaan langkah antara pemerintah dan stakeholder pariwisata serta daerah-daerah, serta yang dilakukan pada VIY 1991. Ddan ada yang mempertanyakan political will secara konsisten untuk pengembangan wisata. Bagaimana tanggapan Anda? JW: Tahun 1991 dan sekarang negara kita sangat berbeda. Tahun 1991 sentralistik, sekarang negara kita desentraisti, ada otonomi daerah. Kepala-kepala dinas tidak bisa kita atur langsung dari Jakarta. Kita tidak bisa memecat kepala dinas yang tidak cakap. Syukur-syukur jika kepala dinasnya bagus, maka hasil kerjanya pun bagus. Soal komitmen,jelas komitmen kita kuat. Kita berani menyelenggarakan Visit Indonesia Year 2008 setelah 17 tahun. Kenapa selama itu tidak ada VIY, karena mungkin menteri-menterinya waktu itu tidak berani. Tapi saya berani. Saya termasuk menteri yang nekad. Dengan segala macam kesulitan dan keterbatasan, kita berani adakan VIY ini.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008