Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta mengatur biaya pendaftaran barang yang diterapkan ritel moderen pada setiap produk yang dijual (listing fee) agar tidak memberatkan produsen dan konsumen. "`Listing fee` untuk masing-masing produk itu seharusnya ada `rate` yang baku. Saat ini berbeda-beda antara Rp2 juta-Rp5juta per produk per outlet." kata Ketua Aliansi Sembilan Asosiasi, Putri K Wardani, di Jakarta, Jumat. "Listing fee" merupakan biaya pencatatan produk ke database sistem stok dan pembayaran peritel moderen. "Kami pernah menghitung sendiri, biaya memasukkan daftar barang ke sistem Teknologi Informasi (TI) peritel seharusnya yang wajar antara Rp150.000-Rp200.000," ujarnya. Menurut dia, syarat perdagangan yang diterapkan oleh ritel moderen asing itu berdampak serius terhadap perkembangan pemasok dan industri nasional. Putri mengungkapkan salah satu anggota Aliansi mengaku dikenakan biaya berbagai syarat perdagangan termasuk "listing fee" yang totalnya mencapai 40 persen dari harga produk. "Bagaimana bisa tumbuh industrinya? Itu berat sekali, lama-lama produsen nasional bisa mati," tuturnya. Padahal, lanjut dia, untuk bisa berkembang, industri membutuhkan biaya riset dan mengiklankan produknya. Perwakilan Gabungan Elektronika (Gabel) Yeane Keet mengatakan, "listing fee" untuk produk elektronik paling mahal mengingat waktu perputaran produk paling lama. "Produk elektronik kan tidak bisa cepat habis seperti produk makanan misalnya," ujar Yeane. Selama ini, "listing fee" juga dibebankan sama besar untuk berbagai jenis produk eletronik. "Bahan pengering rambut yang harganya hanya Rp50.000 pun dikenakan "listing fee" yang sama besar dengan produk lain yang lebih mahal," tambahnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008