Jakarta (ANTARA News) - Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), menurut pengacaranya, mengalami kerugian mencapai nilai Rp9 triliun akibat gugatan yang dilayangkan terhadapnya. Pengacara putra bungsu Presiden RI Periode 1966-1998 HM Soeharto itu, Kapitra Ampera, setelah sidang perkara yang menjerat kliennya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin, mengatakan bahwa nilai kerugian itu setara dengan 985 juta dolar Amerika Serikat (AS). Negara menggugat Tommy dalam perkara tukar guling antara Badan Usaha Logistik (Bulog) dengan PT Goro Batara Sakti (GBS), perusahaan pimpinan Tommy. Kapitra menjelaskan, kliennya harus menerima pembatalan dari sejumlah klien bisnis akibat proses hukum tersebut. "Kita bisa membuktikan ada kerugian akibat gugatan ini sebesar 985 juta dolar AS, hampir Rp9 triliun," katanya. Kapitra menyebut, sedikit-dikitnya ada enam pembatalan kontrak bisnis, setelah Tommy terjerat sebagai tergugat. Untuk menguatkan hal itu, Kapitra menyertakan kliping surat kabar yang berisi pemberitaan tentang kliennya dalam daftar bukti. Gugatan terhadap Tommy, kata Kapitra, adalah gugatan yang mengada-ada dan penuh kepentingan. "Dalam pembuktian, kita simpulkan, gugatan ini rekayasa," katanya. Secara terpisah, Jaksa Pengacara Negara (JPN), Ivan Damanik, mengatakan bahwa negara akan tetap berusaha membuktikan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Tommy Soeharto. Hal itu, katanya, sejalan dengan mandat yang ada dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor 11 Tahun 1998 tentang pengusutan dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto, keluarga, dan kroninya. Untuk itu, JPN menyertakan TAP MPR itu sebagai bukti utama untuk menjerat Tommy Soeharto. Tommy Soeharto bersama sejumlah petinggi PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog digugat perdata lebih dari Rp500 miliar dalam kasus tukar guling antara GBS dan Bulog. Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang mewakili Bulog menegaskan, nilai gugatan itu didasarkan pada kerugian materil, imateril, dan bunga yang ditanggung Bulog akibat perjanjian tukar guling dengan GBS. Gugatan perdata dialamatkan kepada empat pihak atas perbuatan melawan hukum dalam tukar guling antara Bulog dan PT GBS. Keempat pihak itu adalah PT GBS, Hutomo Mandala Putra selaku Komisaris Utama PT GBS, Ricardo Gelael selaku Direktur Utama PT GBS, dan Beddu Amang selaku Kepala Bulog. Tim JPN yang diketuai Yoseph Suardi Sabda menyatakan, pada 11 Agustus 1995 telah diadakan perjanjian tukar guling antara Bulog yang diwakili Beddu Amang dan GBS yang diwakili Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael. Perjanjian itu dinilai merugikan Bulog sebesar Rp15 miliar, karena Bulog harus membatalkan perjanjian dengan PT Graha Mutu Pertiwi atau PT Graha Bhakti Abadi. Perjanjian itu kemudian diikuti tindakan GBS atas sepengetahuan Beddu, Tommy, dan Ricardo, untuk membongkar dan mengosongkan gudang Bulog di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang kemudian dijadikan kawasan perkulakan Goro Batara Sakti pada Januari 1996. Pembongkaran itu dinilai JPN telah merugikan Bulog sekira nilai Rp23,5 miliar. Surat gugatan yang dibacakan secara bergantian juga menyebutkan, GBS telah melakukan pembongkaran terhadap 11 unit gudang milik Bulog dalam kurun waktu Februari 1996 sampai Oktober 1996, yang diduga merugikan Bulog sekitar Rp7 miliar. GBS kemudian menggunakan satu unit gudang Bulog sebagai kantor. Perbuatan itu dinilai merugikan Bulog senilai Rp3,18 miliar. Menurut JPN, barang hasil bongkaran itu kemudian dipindahkan ke gudang lain yang disewa GBS. Pemindahan itu menggunakan uang Bulog hingga mencapai Rp6,2 miliar untuk membayar sewa gudang. Selain itu, GBS menjual barang hasil bongkaran, yang diperkirakan merugikan Bolug sekitar Rp500 juta. JPN mencatat, uang Bulog sebesar Rp23 miliar digunakan untuk membayar tagihan di Bank Bukopin, karena hutang GBS kepada bank tersebut tidak pernah dibayar. Kemudian JPN juga menyatakan, GBS telah menggunakan uang Bulog senilai Rp32,5 miliar untuk membeli tanah. JPN menilai, perbuatan GBS dan para petingginya itu telah merugikan negara, dalam hal ini Bulog, secara materil hingga Rp244,2 miliar. Angka itu diperoleh pihak JPN setelah ditambah dengan kerugian Bulog, karena kehilangan keuntungan sebesar 12 persen per tahun, selama sepuluh tahun. Selain itu, Bulog juga mengalami kerugian immateril yang diperkirakan mencapai Rp100 miliar. "Kerugian immateril berupa hilangnya kepercayaan masyarakat," kata Yoseph. Melalui JPN, Bulog juga menuntut pembayaran bunga menurut hukum sejumlah enam persen per tahun, selama sepuluh tahun, yang mencapai Rp344,2 miliar. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008