Oleh Abdul Azis Senong Makassar (ANTARA News) - Bila mendengar nama perkampungan PajongaE di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), maka masyarakat setempat pasti mengenang masa lalu karena di kawasan itu terdapat puluhan bunker peninggalan eks Jepang yang kini tak terurus lagi. Bahkan, masyarakat setempat berupaya untuk mengambil besi-besi tua yang sudah dimakan usia itu untuk dijual kepada pemburu barang-barang antik. Hanya saja upaya itu sering pula gagal, karena masyarakat melarang untuk diambil lantaran menjadi bukti sejarah masa lampau. "Pada tahun 1970 hingga 1980-an, kawasan itu pernah ditanami jambu mete oleh masyarakat setempat, namun hanya beberapa pohon saja yang tumbuh karena terusik ternak sapi dan kerbau milik masyarakat setempat, sehingga tanaman itu tidak bisa tumbuh dengan baik," kata salah seorang tokoh masyarakat dan saksi sejarah, Makka Yusuf. Menurut Makka, dari hasil survei yang pernah dilakukan salah satu perguruan tinggi di Sultra dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), di kawasan itu sedikitnya ada 30-an benteng dan lubang pertahanan eks tentara Jepang, serta belasan senjata berat yang kini masih tertimbun tanah pasir di kawasan padang savana seluas 30.000 ha tersebut. Pada tahun 1990-an, satu bangkai pesawat helikopter milik tentara Jepang yang jatuh, sudah diamankan, sekaligus diangkut oleh TNI menggunakan kapal laut kemudian dikirim ke Pulau Kalimantan untuk dijadikan sebagai koleksi sejarah di Markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) di wilayah itu. Pemerintah Kabupaten Buton (sebelum wilayah itu resmi dimekarkan) menjadi Kabupaten Bombana pada 2004 pernah dijadikan kawasan perkebunan untuk tanaman jangka panjang seperti mete dan budidaya tanaman jarak, namun ditolak oleh penduduk setempat dengan alasan ternak-ternak peliharaannya itu pasti akan terusik. Menurut dia, kawasan yang berpenduduk sekitar 300 kepala keluarga itu kini telah berubah menjadi tempat pengembangan ternak sapi, kerbau, kambing dan kuda, karena lokasi itu tidak terurus lagi oleh pemerintah. "Sebenarnya, kawasan itu sudah pernah dikapling masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai lokasi perkebunan tanaman kakao dan kopi, namun gagal karena kawasan itu umumnya memiliki dasar tanah berbatuan kerikil dan berkapur yang hanya cocok untuk tanaman jangka panjang seperti tanaman jambu mete dan kelapa," katanya. Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Kadis Diknas) dan Pariwisata Kabupaten Bombana, Drs Zukarnaen M.Pd, mengatakan bahwa kawasan eks peninggalan Jepang yang dinamai "PajonggaE" itu kini tampak tidak terurus lagi, sehingga masyarakat menjadikannya sebagai kawasan peternakan rakyat, khususnya jenis ternak sapi, kerbau kambing maupun kuda. "Dulu kawasan ini pernah dilirik beberapa investor dari luar daerah untuk dijadikan sebagai kawasan perkebunan. Selain itu, pernah pula direncanakan untuk menjadi pelabuhan kontainer, namun masyarakat mengklaim sebagai miliknya, sehingga investor itu gagal menanamkan modalnya," katanya. Ia mengatakan, kawasan PajonggaE itu tidak hanya cocok dijadikan sebagai pusat kegiatan peternakan maupun perkebunan tanaman jangka panjang, namun di bagian selatan wilayah itu sangat tepat untuk dijadikan pusat kegiatan pelabuhan kontainer, karena lautnya cukup dalam dan masih alami. Kawasan PajonggaE yang luasnya mencapai lebih dari 30 ribu ha itu membentang dari arah selatan berbatasan dengan Selat Kabaena dan sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka dan Konawe Selatan (Konsel). Menurut Zukarnaen, sedikit-dikitnya terdapat belasaan bungker eks Jepang serta beberapa senjata berat (mariam) dan serpihan kerangka pesawat helikopter yang masih tertinggal dan tidak terurus lagi. "Sebenarnya, Pemkab Bombana sudah menjadikan kawasan itu sebagai salah satu objek wisata savana setelah kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TN-RAW) yang berada di empat wilayah kabupaten (Konawe, Konawe Selatan, Bombana dan Kolaka) dan objek wisata pantai Pulau Sagori di Pulau Kabaena," katanya. Masyarakat menjadikan kawasan itu sebagai pusat peternakan, karena sejak dulu kawasan itu sudah menjadi kawasan peternakan kerbau milik Raja Suku Moronene ke tiga 1928 hingga tahun 1955-an. Ia mengatakan, jumlah ternak milik rakyat setempat saat ini mencapai lebih dari 5.000 ekor, terdiri dari ternak sapi lebih 2.500 ekor, kerbau 550 ekor, kuda 160 ekor dan kambing lebih dari 1.000 ekor. Menurut tokoh masyarakat setempat lainnya, Burhanuddin, sudah ada beberapa calon investor yang ingin manjadikan daerah itu sebagai pusat perkebunan, tetapi lagi-lagi masyarakat menolaknya dengan alasan tidak menguntungkan mereka. Di sisi lain kawasan PajonggaE itu, selain diklaim masyarakat untuk dijadikan kawasan peternakan juga di bagian selatan wilayah itu kini sudah dijadikan masyarakat sebagai lokasi pertambakan (ikan bandeng) dengan tingkat produksi baru mencapai rata-rata 500-750 kg per sekali panen. "Areal pertambakan milik masyarakat di wilayah itu baru mencapai seluas 250 ha dari sekitar 50 kepala keluarga yang membuka areal pertambakan di wilayah itu," kata Kepala Desa setempat, Drs Abdul Rahim. Rahim mengatakan, kebijakan pemerintah setempat untuk mengelola areal pertambakan di kawasan PajonggaE itu dinilai sudah tepat agar masyarakat setempat lebih cepat meningkatkan taraf hidup bagi kesejahateraan keluargannya. "Jadi warga masyarakat, selain memanfaatkan kawasan itu sebagai kegiatan peternakan juga dibagian lain wilayah pesisirnya kini dimanfaatkan untuk kawasan pertambakan, khususnya ikan bandeng dan udang," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008