Bangkok (ANTARA News) - Dewan tentara, yang menggulingkan Perdana Menteri Thai Thaksin Shinawatra dengan kudeta 2006, membubarkan diri pada Selasa dan berjanji tidak akan ada lagi kup, sementara gabungan dukungan Thaksin bersiap mengambil alih. Dewan untuk Keamanan Negara (CNS), secara luas diejek akibat memimpin pemerintah tak cakap, juga menyeru politisi menjauhkan diri dari urusan tentara, menunjukkan ketakutannya pada pendukung Thaksin di kekuasaan. "Semua orang di CNS, khususnya panglima tentara, bersikeras tidak akan ada lagi kup," kata jurubicara CNS Sunsern Kaewkumnerd kepada wartawan. "Dalam peralihan politik ke demokrasi penuh, yang merupakan masa peka bagi semua pihak, tentara sebaiknya tidak terlibat politik dan politisi sebaiknya tidak mengganggu tentara," katanya. "Oleh karena itu, kami memerlukan orang secara politik netral sebagai menteri pertahanan," kata Sunsern sebulan sesudah pemilihan umum, yang secara terbuka, Partai Kekuatan Rakyat (PPP) pembela Thaksin meraih sedikit di bawah mayoritas mutlak. Seruan itu terjadi sesudah laporan suratkabar bahwa Samak Sundaravej, pemimpin lantang PPP diputuskan menjadi perdana menteri, juga akan menjadi menteri pertahanan. Tapi, tentara dalam keadaan lemah sesudah pemilihan umum itu membuktikan Thaksin masih disukai di pedalaman, tempat sebagian besar rakyat Thai tinggal, meskipun CNS mencoba menghapus pengaruhnya. PPP berkampanye atas pedoman merakyat Thaksin dan mengatakan kepada rakyat bahwa suara bagi partai itu adalah suara bagi Thaksin. Mantan perdana menteri itu digulingkan beberapa bulan sesudah unjukrasa jalanan dimulai melawannya di Bangkok dan menghadapi tuntutan korupsi bila kembali dari pengasingannya. Pengulas politik melihat hasil pemilihan umum 23 Desember itu sebagai suara melawan kup tersebut dan kecaman terhadap tentara menjadi lebih tajam. "Para jenderal terbukti tak mampu menangani Thailand pasca-kudeta," kata ilmuwan politik universitas Chulalongkorn Thitinan Pongsudhirak dalam tulisannya di "Bangkok Post" terbitan Selasa. "Arah kebijakan gelap, pemimpin tak mampu, pemerintah secara keseluruhan tidak cakap. Para jenderal membuat diri mereka usang dengan melakukan kudeta itu," katanya. Pada jenderal menuduh Thaksin memimpin korupsi, yang merajalela, dan tak hormat terhadap raja Bhumibol Adulyadej, yang disangkalnya, tapi pengadilan anti-korupsi bentukan mereka menghasilkan hanya satu perkara terhadapnya. Mereka juga gagal memberangus partai Thai Rak Thainya (Thai Cinta Thai), meskipun pengadilan memerintahkan pembubarannya atas tuduhan mencurangi pemilihan umum dan melarang Thaksin dan 110 anggota utama partai itu dari kegiatan politik selama lima tahun. Anggota Thai Rak Thai langsung mengambil alih PPP, yang hampir bubar, yang diperkirakan berkuasa sebagai pemimpin pemerintah gabungan serta menempati kementerian paling kuat pada suatu saat bulan mendatang. PPP pada pekan lalu menyatakan berencana membentuk pemerintah gabungan untuk menutup drama politik 16 bulan setelah Thaksin digulingkan. PPP menang pemilihan umum, tapi masih kekurangan suara untuk mencapai mayoritas di parlemen, yang terdiri atas 480 kursi. Kemenangan mereka diancam tantangan hukum, yang diajukan Mahkamah Agung dan puluhan suara palsu, yang diajukan Panitia Pemilihan Umum. Gabungan itu akan memberikan pemerintah pimpinan PPP tersebut sekitar duapertiga dari kursi di parlemen, demikian Reuers dan AFP.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008