Nairobi (ANTARA News) - Perang, penyakit dan kekurangan gizi telah menewaskan sekitar 5,4 juta orang di Kongo sejak 1998, dan itu merupakan angka kematian tertinggi yang berkaitan dengan konflik sejak Perang Dunia II, kata sebuah kelompok kemanusiaan internasional, Selasa. Komite Penyelamatan Internasional (IRC) yang berpusat di New York menyatakan, sekitar 45.000 orang tewas setiap bulan di negara Afrika tengah yang luas itu bahkan setelah berakhirnya perang lima tahun pada 2003, dan pemulihan diri dari konflik brutal itu merupakan sebuah "proses yang berlarut-larut". "Jumlah kematian Kongo itu setara dengan seluruh penduduk Denmark atau negara bagian Colorado yang tewas dalam satu dasawarsa. Meski perang Kongo berakhir secara resmi lima tahun lalu, kekerasaan yang terus berlangsung dan kemiskinan terus merenggut jiwa," kata ketua kelompok itu, George Rupp, kepada DPA. Mayoritas dari korban-korban itu tewas karena penyakit yang seharusnya bisa dicegah dan bisa dirawat seperti malaria, diare, pneumonia dan kekurangan gizi, kata kelompok itu. Survei yang dilakukan antara Januari 2006 dan April 2007 itu berakhir segera setelah kekerasan di provinsi bergolak North Kivu meletus, dan karenanya jumlah kematian mungkin lebih tinggi dan terus naik. Pemberontak timur dan pemerintah dijadwalkan menandatangani sebuah perjanjian perdamaian di ibukota provinsi itu Goma pada Selasa, sebuah langkah berarti untuk mengakhiri konflik yang kejam itu. Lebih dari 700.000 orang tewas akibat krisis kemanusiaan atau konflik bersenjata selama periode survei IRC itu, dan hampir separuh dari mereka anak-anak di bawah usia lima tahun. Kongo bangkit dari kekuasaan kleptokratis puluhan tahun setelah penggulingan diktator Mobutu Sese Seko oleh pemberontak pada 1997, yang membuat negara itu terjeblos ke dalam perang yang menyeret sedikitnya enam militer asing. Rakyat Kongo mengadakan pemilihan umum bersejarah pada 2006 yang mengantarkan Presiden Joseph Kabila ke tampuk kekuasaan. Namun pemerintahnya, yang dituduh melakukan korupsi, lamban menangani krisis kemanusiaan dan meski negara itu memiliki kekayaan mineral yang besar, rakyatnya tetap hidup dalam kemiskinan yang parah. (*)

Copyright © ANTARA 2008