Surabaya (ANTARA News) - Pengamat politik J Kristiadi mengakui tampilnya militer dalam berbagai jabatan politis seperti pemilihan gubernur (pilgub) atau pemilihan bupati (pilbup) itu sesungguhnya hanya soal trauma masyarakat. "Itu (jabatan politis bagi TNI) sangat prosedural bila militer yang bersangkutan sudah pensiun atau menjadi sipil, tapi masyarakat memang masih trauma dengan militer," katanya kepada ANTARA News di Surabaya, Kamis. Di sela-sela ujian terbuka doktor untuk Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Drs Muhadjir Effendy MAP sebagai doktor "militer" di Pasca Sarjana Unair, ia mengatakan TNI itu dapat menjadi apa saja, asal pensiun. "Pejabat Gubernur Sulsel Achmad Tanribali Lamo, misalnya, saya kira nggak masalah dia dari TNI (mantan Asisten Personil KSAD) bila dia sudah tidak aktif (sipil)," katanya. Menurut dia, jabatan politis itu memang banyak peminatnya, bukan hanya TNI, tapi artis dan pengusaha juga banyak yang berminat. "Masalahnya, masyarakat masih trauma kepada TNI, karena pengalaman masa lalu," katanya. Namun regulasi yang ada di TNI saat ini sudah mulai mengurangi peran politis. Hanya kultur militeristik memang masih belum dapat dihilangkan sepenuhnya. "Soal jabatan politis, PP 15/2001 sudah mengatur jabatan sipil diduduki militer, asalkan militer yang bersangkutan sudah menjadi sipil," katanya. Secara terpisah, pengamat militer Dr Drs Muhadjir Effendy MAP menilai peran militer dan sipil yang sempat dikenal sebagai Dwi Fungsi itu sebenarnya sudah menjadi karakter TNI. "Jadi, ada-tidaknya Dwi Fungsi, saya kira peran militer-sipil itu sudah menjadi karakter TNI, karena itu dwifungsi itu hanya formalitas saja, tapi kalau dwifungsi dihapus, maka peran politis (sipil) tidak otomatis terhapus," katanya. Peran majemuk itu, katanya, terlihat dari peran militer dalam penanganan bencana yang bukan peran militer yang sebenarnya atau tampilnya mereka dalam pemilihan kepala daerah. "Yang jadi masalah itu, saya kira justru Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) yang banyak impor, karena alutsista impor itu identik dengan membuka setengah dari rahasia negara," katanya. Menurut rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu, 50 persen nyawa militer itu ada pada alutsista, karena itu alutsista impor itu selalu ada bagian-bagian yang sengaja "dikunci." "Jadi, kalau kita impor alutsista, maka rahasia kita tak terjamin, karena pemegang rahasia adalah pembuat alutsista itu dan mereka bisa berbuat apa saja terhadap alutsista buatannya yang dibeli pihak lain seperti TNI," katanya. Padahal TNI dapat membuat sendiri alutsista bila TNI mau melibatkan ahli riset dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga pemerintah sendiri seperti BPPT, PT PAL, PT DI, dan sebagainya. "Masak, Hizbullah saja mampu membuat rudal, tapi TNI kok justru impor rudal," kata salah seorang ketua PP Muhammadiyah itu.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008