Oleh Muhammad Arief Iskandar Jakarta (ANTARA News) - Wajah Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Miranda Swaray Goeltom, tampak berseri dan sesekali tersenyum kepada para hadirin yang memenuhi ruangan salah satu gedung di toko buku terkenal tersebut. Saat itu, Rabu (23/1), pukul 10.30, Miranda tampil dengan rambut bercat ungu dan berbalut blazer warna ungu muda dengan bawahan hitam. Ia lantas duduk di barisan paling depan, berdampingan dengan koleganya di BI, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Sesaat kemudian, belasan wartawan fotopun segera beraksi. Kilatan lampu blitz dari kamera para wartawan menerpa wajah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) tersebut. Diberondong kilatan blitz tidak lantas membuat wanita kelahiran Jakarta, 19 Juni 1949 risih. Ia bahkan tersenyum melayani para wartawan foto yang mengabadikannya. Miranda memang tak pantas canggung, karena sejak belasan tahun lalu, ia sudah akrab dengan sorotan kamema dan kiliatan lampu blitz. Hari itu, perempuan peraih gelar doktor dari Graduate School of Economics di Boston University, Massachussets, Amerika Serikat (AS), tersebut meluncurkan bukunya yang berbahasa Inggris: "Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesia Experience". "Buku tipis, yang tebalnya sekitar 3 centimeter," kata Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu, ketika memberikan sambutan peluncuran buku tersebut sambil tersenyum. Ungkapan rekan sejawat sekaligus teman baik Miranda tersebut langsung disambut derai tawa para hadirin yang ada, dan juga Miranda. Miranda, perempuan yang dalam bukunya menyebut dirinya sebagai pecinta seni (art lovers) tersebut telah berusia menjelang 59 tahun. "Umur yang tidak muda lagi," katanya diikuti senyuman. Ia pernah menuturkan, ketika masa mahasiwa dirinya termasuk orang yang suka berdebat dan mengungkapkan apa yang menjadi pikirannya. Bahkan, dosen yang ditangisinya ketika meninggal, almarhum M. Sadli, pernah mengungkapkan rasa senangnya terhadap keberanian dirinya. "Ia pernah mengatakan, Mir, aku senang ke kamu, muda-muda sudah berani 'ngomong', kalau kamu tidak mengungkapkan itu dan nggak ada orang akan mengritik, kalau tidak ada kritik yang diberikan, kamu akan miskin ilmu," katanya menirukan ucapan Sadli. Hal itu, bagi Miranda merupakan salah satu modal dalam menjelajahi dunia akademis. Miranda yang lulus dari FEUI pada tahun 1973 tersebut kemudian mendedikasikan dirinya untuk mengajar di almamaternya tersebut hingga kini. Dan di usianya menjelang 59 tahun tersebut, universitas tempat ia mengabdikan dirinya itu memberikan kehormatan dengan mengangkatnya sebagai guru besar pada 15 Desember 2007. Ini semakin mengukuhkan dirinya dalam kariernya sebagai akdemisi. "Menjadi akademisi merupakan salah satu hal yang saya ingin lakukan," katanya. Setelah berjibaku dengan dunia akademisi, setidaknya telah tiga buku yang diluncurkan, dan "Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesia Experience" adalah yang terbaru. "Buku ini merupakan tulisan yang naskahnya saya buat sejak tahun 1999 hingga tahun 2007," katanya, mengomentari buku yang bersampul wajahnya dalam lukisan impresionis tersebut. Buku tersebut, menurut penganut ekonomi pasar itu, sebagai buah pikirannya mengenai keadaan dan kebijakan makro ekonomi di Indonesia. Selain itu, dirinya juga telah menyelesaikan satu buku berjudul "Mencairkan Gunung Es", yang menceritakan pengalamannya ketika menerapkan "knowledge management" di Bank Indonesia (BI). "Waktu pertama kali masuk BI, orangnya kaku-kaku, kayak gedung-gedung, padahal mereka pintar-pintar," katanya mengomentari buku keduanya tersebut. Keinginan untuk membukukan masalah "knowledge management" tersebut dipengaruhi oleh kecintaanya terhadap hal itu. "Knowledge management, it`s my baby," katanya. Tak hanya itu, ia mengaku telah merancang buku tentang krisis ekonomi, yang digarapnya bersama Marie Elka Pangestu. "Sebenarnya rencananya telah lama, tapi belum selesai-selesai juga," katanya menambahkan. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008