Jakarta (ANTARA News) - Dua hakim Mahkamah Agung (MA), Harifin A. Tumpa dan Parman Soeparman, menyatakan beda pendapat (dessenting opinion) terhadap vonis 20 tahun penjara terhadap Pollycarpus Budihari Priyanto dalam kasus kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir. Sumber ANTARA News di MA pada Jumat mengatakan, perbedaan pendapat itu adalah seputar lama pidana penjara yang dijatuhkan. Kedua hakim yang juga menangani permohonan Peninjauan Kembali (PK) kasus Munir itu berpendapat, MA tidak bisa memutus permohonan PK lebih berat dari putusan sebelumnya. Keduanya, menurut mereka, mendasarkan hal itu pada pasal 266 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP. Ketentuan itu menyebutkan, pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang dijatuhkan dalam putusan semula. Sebelumnya, Pollycarpus dijatuhi hukuman pidana penjara selama 14 tahun oleh majelis pengadilan tingkat pertama dan kedua, karena dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. Pada tingkat kasasi, MA menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada pilot Garuda Indonesia itu, karena hanya terbukti menggunakan surat tugas palsu. Meski beda pendapat tentang lama hukuman, kedua hakim agung itu sepakat bahwa Pollycarpus bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat (Humas) MA, Nurhadi, juga membenarkan bahwa semua hakim yang menangani perkara itu sepakat bahwa Pollycarpus memang bersalah. Majelis hakim Mahkamah Agung (MA) yang memeriksa dan mengadili permohonan PK kasus kematian Munir menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto. "Mengadili kembali, menyatakan terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana, pertama melakukan pembunuhan berencana, kedua melakukan pemalsuan surat," kata Nurhadi, ketika membacakan petikan putusan tersebut. Permohonan PK tersebut diputus dalam rapat musyawarah MA dengan ketua majelis hakim, Bagir Manan, dibantu hakim anggota, H. Parman Soeparman, Djoko Sarwoko, Paulus Efendi Lotulung, dan Harifin A. Tumpa. Putusan bernomor 109/pk/pid/2007 sekaligus membatalkan putusan MA sebelumnya yang bernomor 1185K/pid/2006 tertanggal 3 Oktober 2006, yang hanya menyatakan Pollycarpus bersalah menggunakan surat tugas palsu. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008