Jakarta (ANTARA News) - Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) melalui tim kuasa hukumnya menegaskan, tidak pernah merugikan Bulog dalam pelaksanaan tukar guling (ruislaag) antara Bulog dan perusahaan yang dipimpinnya, PT Goro Bhatara Sakti (GBS). Hal itu juga dinyatakan dalam akta bukti tambahan yang diserahkan oleh tim kuasa hukum putra bungsu Presiden Kedua RI, HM Soeharto, itu dalam sidang lanjutan perkara tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin. Sidang tersebut digelar bersamaan dengan hari pemakaman HM Soeharto, yang meninggal dunia pada Minggu (27/1) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) di Jakarta dan dimakamkan di Karanganyar, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada sidang itu, tim kuasa hukum Tommy menyerahkan laporan akuntan independen yang dibuat oleh kantor akuntan Jan Ladiman dan Rekan tentang Daftar Pengeluaran dan Penerimaan Asset Bulog Dalam Rangka Tukar Imbang (Ruislaag) Antara Bulog dengan PT Goro Batara Sakti. Laporan tersebut menyatakan, pengeluaran Bulog dalam "ruislaag" itu senilai Rp65,08 miliar, sedangkan penerimaan Bulog adalah senilai Rp74,51 miliar. "Jadi, Bulog malah untung," kata salah satu kuasa hukum Tommy, Risma Situmorang, seusai sidang. Secara rinci, laporan akuntan independen itu menyebutkan keuntungan Bulog atas "ruislaag" sebesar Rp9,43 miliar. Untuk itu, tim kuasa hukum Tommy memohon, agar majelis hakim yang menangani perkara itu menolak dalil Bulog bahwa "ruislaag" telah membawa kerugian. Sementara itu, Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang mewakili Bulog sebagai penggugat akan mengajukan sejumlah saksi pada sidang berikutnya untuk mendukung dalil gugatan. Tommy Soeharto bersama sejumlah petinggi PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog digugat perdata lebih dari Rp500 miliar dalam kasus tukar guling antara GBS dan Bulog. Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang mewakili Bulog menegaskan nilai gugatan itu didasarkan pada kerugian materil, imateril, dan bunga yang ditanggung Bulog akibat perjanjian tukar guling dengan GBS. Gugatan perdata dialamatkan kepada empat pihak atas perbuatan melawan hukum dalam tukar guling antara Bulog dan PT GBS. Keempat pihak itu adalah PT GBS, Hutomo Mandala Putra atau Tommy SOeharto selaku Komisaris Utama PT GBS, Ricardo Gelael selaku Direktur Utama PT GBS, dan Beddu Amang selaku Kepala Bulog. Tim JPN yang diketuai Yoseph Suardi Sabda menyatakan, pada 11 Agustus 1995 telah diadakan perjanjian tukar guling antara Bulog yang diwakili Beddu Amang dan GBS yang diwakili Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael. Perjanjian itu dinilai merugikan Bulog sebesar Rp15 miliar karena Bulog harus membatalkan perjanjian dengan PT Graha Mutu Pertiwi atau PT Graha Bhakti Abadi. Perjanjian itu kemudian diikuti tindakan GBS atas sepengetahuan Beddu, Tommy, dan Ricardo, untuk membongkar dan mengosongkan gudang Bulog di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang kemudian dijadikan kawasan perkulakan Goro Batara Sakti pada Januari 1996. Pembongkaran itu dinilai JPN telah merugikan Bulog sekitar Rp23,5 miliar. Surat gugatan juga menyebutkan GBS telah melakukan pembongkaran terhadap 11 unit gudang milik Bulog dalam kurun waktu Februari 1996 sampai Oktober 1996, yang diduga merugikan Bulog sekitar Rp7 miliar. GBS kemudian menggunakan satu unit gudang Bulog sebagai kantor. Perbuatan ini dinilai merugikan Bulog sebesar Rp3,18 miliar. Menurut JPN, barang hasil bongkaran itu kemudian dipindahkan ke gudang lain yang disewa GBS. Pemindahan itu menggunakan uang Bulog hingga mencapai Rp6,2 miliar untuk membayar sewa gudang. Selain itu, GBS menjual barang hasil bongkaran, yang diperkirakan merugikan Bolug sekitar Rp500 juta. JPN mencatat, uang Bulog sebesar Rp23 miliar digunakan untuk membayar tagihan di Bank Bukopin, karena hutang GBS kepada bank tersebut tidak pernah dibayar. Kemudian JPN juga menyatakan GBS telah menggunakan uang Bulog sebesar Rp32,5 miliar untuk membeli tanah. JPN menilai perbuatan GBS dan para petingginya itu telah merugikan negara, dalam hal ini Bulog, secara materil hingga Rp244,2 miliar. Angka itu diperoleh setelah ditambah dengan kerugian Bulog karena kehilangan keuntungan sebesar 12 persen per tahun, selama sepuluh tahun. Selain itu, Bulog juga mengalami kerugian immateril yang diperkirakan mencapai Rp100 miliar. "Kerugian immateril berupa hilangnya kepercayaan masyarakat," kata Yoseph. Melalui JPN, Bulog juga menuntut pembayaran bunga menurut hukum sejumlah enam persen per tahun, selama sepuluh tahun, yang mencapai Rp344,2 miliar. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008