Surabaya (ANTARA News) - Penerapan regulasi baru mengenai interkoneksi, diperkirakan akan berdampak pada turunnya tarif komunikasi baik telepon tetap (fixed) maupun seluler di seluruh operator. Kemungkinan itu juga diakui oleh manajemen PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang mengharapkan tidak ada lagi pola subsidi silang setelah regulasi itu benar-benar diterapkan. "Jika regulasi tersebut benar-benar diimplementasikan, Telkom berharap pola subsidi silang dalam pentarifan, baik di sisi interkoneksi maupun ritel lokal yang selama ini terjadi, tidak terjadi lagi pada 2008," kata Vice President Public and Marketing Communication Telkom, Eddy Kurnia, kepada ANTARA di Surabaya, Senin. Ia merasa yakin regulator cukup memahami (well-informed) tentang dampak regulasi interkoneksi terhadap operator, karena pihak regulator sendiri sudah sering menyuarakan masalah tersebut sehingga masukan-masukan Telkom juga tentunya masuk dalam pertimbangan regulator. Kendati begitu, kata Eddy, Telkom telah mengantisipasi rencana pemerintah untuk menurunkan tarif dengan mempercepat pembangunan alat-alat produksi yang dimiliki Telkom Group. Pembangunan alat produksi itu diantaranya penambahan Base Transceiver Station (BTS) Flexi minimal 3.000 buah sehingga jumlah total akhir 2008 akan mencapi minimal 5.000 BTS. Selain itu, menambah BTS Telkomsel minimal 5.000 unit sehingga jumlah total akhir 2008 akan mencapai minimal 26.000 unit dan perluasan penetrasi dan pengembangan bisnis baru seperti broadband, datacomm, internet dan un-organic business. Untuk broadband misalnya, Telkom akan membangun Speedy sekitar 1,2 juta satuan sambungan layanan (SSL) sehingga jumlah total akhir 2008 akan mencapai sekitar 1,5 juta SSL. Bijak Eddy mengemukakan, soal tarif interkoneksi dari jaringan mobile ke fixed, regulator tentu akan bertindak bijak, karena kalau tidak, hal ini akan menjadikan iklim investasi di fixed line tidak kondusif bagi investor. Padahal, lanjutnya, teledensitas telekomunikasi (seluler, Fixed Wireless Access,/i> dan fixed-line) di Indonesia masih sekitar 35-40 persen. Jika teledensitasnya hanya dihitung dari fixed-line dan FWA saja, maka masih dibawah 10 persen sehingga jumlah itu perlu ditingkatkan dengan cara mendorong lingkungan investasi yang lebih kondusif. Ia mencontohkan, Singapura dalam mewujudkan visi 2015, memberikan "grant" kepada konsorsium untuk pembangunan jaringan telekomunikasi sebesar 520 juta dolar AS atau setara Rp4,8 triliun. Sementara di Indonesia, konsorsium Palapa Ring secara mandiri membiayai pembangunan infrastruktur telekomunikasi di Kawasan Timur Indonesia di tengah-tengah rencana pemerintah menurunkan tarif jasa dan jaringan telekomunikasi. "Hal ini tentu akan menambah beban konsorsium yang sebagian besar anggotanya adalah operator telekomunikasi," katanya. Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memberikan insentif yang lebih menarik dalam mendorong investasi di sektor jaringan telekomunikasi.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008