oleh Aditia Maruli Radja Jakarta (ANTARA News) - Lukisan ukuran 80 x 120 cm bergambar Bung Karno seolah cocok menjadi bagian interior ruang tengah di rumah itu. Lukisan-lukisan lainnya di ruang tengah maupun ruang tamu, seakan melengkapi rumah yang belum berubah sejak zaman awal republik ini, di Jalan Talang Betutu Nomor 20, Tanah Abang, Jakarta Pusat. "Papa senang sekali lukisan gambar Bung Karno ini, sudah puluhan tahun teman-temannya menawar, tapi dia tidak akan lepaskan," kata Darmawan (44), anak bungsu sang pemilik rumah, Mohammad Jusuf Ronodipuro. Lukisan Soekarno sedang berpidato di lapangan Ikada (kini Monas) itu dibuat oleh pelukis legendaris Basoeki Abdullah (alm), yang juga seorang sahabatnya. Namun, lukisan-lukisan itu kehilangan pengagum terbesarnya. M. Jusuf Ronodipuro tutup usia pada hari Minggu (27/1) pukul 23.30 WIB setelah dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Pejuang kemerdekaan yang pertama menyiarkan teks proklamasi 17 Agustus 1945 melalui radio itu meninggal dalam usia 88 tahun, setelah mengalami berbagai komplikasi penyakit yang diawali stroke pada Juni 2007. Jusuf dikenal sebagai angkasawan (broadcaster) perintis Radio Republik Indonesia (RRI). Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, pada 30 September 1919 itu juga berkarir sebagai diplomat dengan jabatan, antara lain Penasihat Perwakilan RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Duta Besar di beberapa negara kawasan Amerika Latin. Saat menjabat Kepala Stasiun RRI Jakarta pada 1950, Jusuf-lah yang merekam (dengan terlebih dahulu membujuk) Bung Karno untuk membaca kembali teks proklamasi. Hasilnya, RRI memiliki satu-satunya rekaman deklarasi kemerdekaan Indonesia. Dia juga berperan dalam menghasilkan "Lagu Indonesia Raya", seperti yang sekarang ini dikenal bangsa Indonesia dan masyarakat dunia. Penulis Bondan Winarno pernah mengemukakan bahwa pada akhir tahun 1950 Jusuf meminta Jos Cleber (seorang Belanda) menggubah partitur Indonesia Raya untuk versi orkes filharmoni. Jusuf kemudian mengajak Cleber ke Istana Merdeka untuk memperdengarkan hasil rekaman itu kepada Presiden Soekarno. Bung Karno mengeritik gubahan tersebut sehingga harus diperbaiki. Perbaikan versi ketiga barulah diterima Bung Karno, dan bertahan selama puluhan tahun hingga musikus Addie MS dengan Twilite Orchestra-nya merekam persis setiap nada-nada lagu tersebut. Anak sulung Ronodipuro, Irawan (48), mengemukakan bahwa ayahnya adalah perokok berat, dan sehari rata-rata menghabiskan tiga bungkus rokok putih, selain masih sering mengisap cerutu. "Kebiasaan mengisap cerutu itu mungkin dimulai saat menjadi Dubes di Amerika Latin. Di sana `kan terkenal dengan tembakau," kata Irawan, wirausahawan yang pernah berkarier sebagai penyiar di Televisi Republik Indonesia (TVRI). Salah seorang yang merasa kehilangan Ronodipuro adalah Menteri Pertahanan (Menhan), Juwono Sudarsono, yang menilai sosoknya sebagai pelopor pertama penyiaran di Indonesia. "Dia percaya dengan perang citra bersama perang reguler, jadi kita harus membangun secara politik, ekonomi, sosial, budaya untuk bisa bersaing ataupun melawan negara lain. Citra dan kenyataan tidak dipisahkan," kata Juwono. Juwono mengaku pertama kali mengenal Ronodipuro selaku diplomat di Amerika Serikat (AS) tahun 1953. Juwono tampak melayat di rumah duka pada Senin siang, selain berbagai sosok mulai dari Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, mantan Kapolri Awaluddin Djamin, tokoh pers Jacob Oetama, serta Fikri Jufri, dan mantan Jaksa Agung, Marsillam Simanjuntak. Departemen Pertahanan (Dephan) yang dipimpin Juwono Sudarsono membiayai pengobatan Ronodipuro, karena dia memiliki status pejuang kemerdekaan. Satu peristiwa yang identik dengan Jusuf Ronodipuro adalah penyiaran pertama proklamasi. Saat itu, 17 Agustus 1945 sekitar pukul 17.30 WIB, Jusuf sedang berada di kantornya, yaitu Hoso Kyoku Jakarta (Radio Militer Jepang di Jakarta). Tiba-tiba muncul Syahruddin dari kantor berita Domei yang masuk dengan meloncat dari tembok belakang kantor itu. Dia menyerahkan secarik kertas pesan dari Adam Malik yang menyebut "Harap berita terlampir disiarkan", dan berita yang dimaksud adalah naskah proklamasi yang sudah dibacakan pukul 10 pagi. Ronodipuro kemudian berunding dengan beberapa temannya, termasuk Bachtiar Lubis dan tepat pukul 19.00 WIB dia membacakan proklamasi yang siarannya ditangkap di semua pelosok. Bachtiar Lubis adalah kakak dari wartawan-sastrawan Muchtar Lubis. Ia memiliki ide untuk menggunakan ruang siaran luar negeri yang ditutup Jepang pada 15 Agustus 1945, dan kebetulan ruang itu tidak dijaga, tapi masalah tidak selesai hingga di situ, karena mereka harus membuat seolah-olah siaran itu mengudara dari siaran dalam negeri. "Ada satu orang petugas teknik yang dengan ringan bicara kalau itu mudah, namanya Joe Saragih. Katanya, bisa saja, 'kan tinggal dicolok," katanya saat wawancara dengan ANTARA News pada 2005. Usaha itu berhasil, penyiar yang berada di ruang siaran dalam negeri tetap pura-pura membaca berita, tetapi berita tersebut tidak tersiar ke luar, sedangkan Jusuf membacakan naskah proklamasi itu tepat pada acara berita malam selama sekitar 15 menit. "Karena pendek, kami buat terjemahannya saat itu juga," katanya. Saat para wartawan Hoso Kyoku berkumpul dan menebak-nebak susunan menteri dalam kabinet yang akan dipimpin Soekarno, seorang pemimpin kempetai berpangkat kapten menerobos masuk sambil marah-marah dan menyeret Jusuf dan Bachtiar. "Kaki saya yang sedikit pincang ini adalah akibat dari peristiwa pada waktu itu. Tapi, saya diselamatkan Puccini," katanya untuk menyebut Giacomo Puccini, seniman musik klasik yang hidup pada 1858-1924. Saat sang kapten semakin marah dan telah mengeluarkan samurai, seorang kolonel Jepang masuk ke dalam ruangan lalu menenangkan sang kapten. "Kebetulan saya kenal kolonel itu, kami sering bicara tentang musik klasik, terutama Puccini. Entah apa jadinya, jika tidak ada Puccini," kata pria yang dua tahun lalu masih menjadi penikmat cerutu Romeo and Julliet atau Davidof berbandrol Havana Cuba. Seusai kejadian itu, Jepang mengusir semua pegawai Indonesia dari Hoso Kyoku, tetapi para angkasawan itu tidak menyerah dan mendirikan radio "Voice of Indonesia" dengan pemancar di FK UI. Siaran "Voice of Indonesia" mengudara dua jam sehari, satu jam untuk Bahasa Indonesia dan satu jam dalam bahasa Inggris. Soekarno pertamakali menggunakan siaran radio itu pada 25 Agustus, sedangkan Hatta berpidato di radio itu pada 29 Agustus 1945. Mengenai pandangan ayahnya terhadap perkembangan zaman, Irawan mengingat sang ayah pernah mengemukakan kekecewaan. "Dia bilang, kalau dulu zaman perjuangan, semua berjuang tanpa pamrih, demi kebersamaan. Sekarang sudah beda. Tapi, dia bilang dia sudah lakukan semua yang harus dilakukan pada masanya," kata Irawan. Sejak pensiun pada tahun 1976, Ronodipuro selanjutnya aktif di Lembaga Indonesia Amerika, organisasi sosial nirlaba LP3ES, lembaga pemikir CSIS, dan Dewan Harian Angkatan 45. Almarhum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Timur pada Senin siang dengan meninggalkan istri, Siti Fatma Rassat, tiga anak dan tujuh cucu. Ayah Fatma adalah dokter kepresidenan pada masa pemerintahan Soekarno. "Dia seorang angkasawan sejati. Dia seorang pendiri RRI dan selalu datang saat ulang tahun RRI. Kami mempertimbangkan untuk mengabadikan namanya, mungkin pada ruang atau bangunan," kata Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik (LPP Dirut) RRI, Parni Hadi, saat hadir di rumah duka. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008