Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari Standard Chartered Bank, Erick Sugandi mengatakan, Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih akan mempertahankan tingkat suku bunga acuannya, BI Rate, pada level 8 persen, akibat masih tingginya laju inflasi Januari 2008. "Tingginya laju inflasi Januari berkaitan dengan kenaikan harga bahan pangan seperti kedelai, jagung dan harga minyak mentah dunia yang berada di level 90 dolar AS per barel," katanya di Jakarta, Jumat. Menurut dia, laju inflasi Januari 2008 mencapai satu persen (month per month) dan year on year (yoy) masih mencapai 6,5 persen. "Kami optimis BI masih mempertahankan BI Rate pada level 8 persen, karena laju inflasi Januari masih tinggi," ucapnya. Dikatakannya, stabilnya BI Rate pada level 8 persen akan memicu investor asing kembali memasuki pasar domestik, karena selisih bunga rupiah terhadap dolar AS cukup besar mencapai lima persen (8 persen banding 3 persen). Dengan masuknya "hot money" asing, maka pergerakan rupiah terhadap dolar AS akan terus menguat yang akan mencapai level Rp9.200 per dolar AS, ujarnya. Namun peluang BI untuk menurunkan BI Rate pada bulan berikutnya cukup besar, karena laju inflasi pada Februari kemungkinan terkendali. Jadi BI akan menurunkan bunga BI Rate Maret nanti sebesar 25 basis poin menjadi 7,75 dari sebelumnya 8 persen, katanya. Faktor yang mendukung penurunan, menurut dia, karena harga minyak mentah dunia diperkirakan akan terus menurun, akibat berkurangnya konsumsi minyak mentah Amerika Serikat. Konsumsi minyak mentah AS berkurang menyusul terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi AS yang cenderung menuju ke arah resesi, akibat kasus krisis gagal bayar kredit sektor perumahan, ucapnya. Ditanya mengenai rupiah, menurut dia, akan bisa mencapai level Rp9.200 per dolar AS pada pekan depan, apalagi bank sentral AS (The Fed) berencana akan menurunkan lagi suku bunganya. Peluang rupiah untuk bisa mencapai level Rp9.100 per dolar AS akan semakin besar, menyusul makin merosotnya dolar AS di pasar global, katanya. Mengenai eksportir dan importir, ia mengmeukakan dukungan eksportir terhadap produk domestik bruto (PDB) terhadap pemerintah kecil, hanya sekitar 9 sampai 10 persen, tidak berpengaruh terhadap pendapatan negara. Dengan menguatnya rupiah hingga mencapai level Rp9.100 per dolar AS, maka produk di pasar ekspor memang kurang kompetitif. Kemungkinan BI Rate turun pada bulan berikutnya cukup besar, karena laju inflasi pada Februari nanti cenderung terkendali. (*)

Copyright © ANTARA 2008