Magelang (ANTARA News) - Prosesi "Sedekah Sendang Suruh" menjadi tradisi budaya masyarakat kawasan Candi Borobudur di Pegunungan Menoreh, untuk melestarikan peninggalan Pangeran Diponegoro. Prosesi diikuti ratusan warga Desa Giri Tengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (3/2), dengan berjalan kaki dari depan balai desa setempat menuju Sendang Suruh di bawah puncak Suroloyo Pegunungan Menoreh, perbatasan antara Kabupaten Magelang, Jateng dengan Kulon Progo (Daerah Istimewa Yogyakarta). Seluruh peserta prosesi termasuk Kepala Desa Giri Tengah, Sudaryanto mengenakan pakaian adat Jawa, seorang di antaranya berpakaian mirip Pangeran Diponegoro dengan keris terselip di depan dadanya dan seorang lainnya membawa bendera Merah Putih. Sejumlah kelompok kesenian rakyat turut dalam prosesi yang berlangsung meriah dengan tabuhan alat musik tradisional seperti bende, jedhor, dan kenong. Beberapa orang berpakaian kesenian mengusung dua tandu berisi sesaji nasi tumpeng dengan berbagai perlengkapannya seperti sayuran, jajan pasar, dan buah-buahan. Para perempuan mengenakan pakaian kebaya dengan tutup kepala, caping, menggendong tenggok berisi hasil bumi masyarakat setempat. Mereka berjalan kaki sepanjang sekitar tiga kilometer menyusuri jalan-jalan desa menuju Sendang Suruh. Warga lainnya terlihat berdiri di tepi kanan dan kiri jalan yang dilalui mereka yang melakukan prosesi tersebut. Suasana cerah di kawasan Pegunungan Menoreh itu terkesan menambah meriah pelaksanaan tradisi budaya tersebut. Prosesi dipimpin Juru Kunci Sendang Suruh, Muhammad Sumarto (70) dan wakilnya, Abu Dimroni (70). Setiba di sendang yang didekatnya tumbuh kokoh pohon kecik dipagari bambu keliling itu, Sumarto didampingi Dimroni dan Kades Sudaryanto mengambil air sendang lalu memasukannya ke dalam kendi, mereka kemudian menaburkan bunga mawar di sekitar tempat itu. Pemuka setempat, Kiswanto (54) memimpin masyarakat doa memohon keselamatan dan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Mereka juga menanam bibit pohon beringin di dekat sendang tersebut sebagai wujud upaya masyarakat melestarikan lingkungan alam setempat. Usai doa bersama, para pemuda kemudian berebut tumpeng yang ada di dalam tandu untuk selanjutnya dimakan bersama. "Tempat ini pada zaman Perang Diponegoro (1825-1830) untuk tempat Pangeran Diponegoro wudlu dan di bawah pohon kecil itu beliau salat. Di tempat ini pula Pangeran Diponegoro menggelar pasukan untuk persiapan gerilya menghadapi penjajah Belanda," kata Sumarto.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008