Jakarta (ANTARA News) - Adanya dana bantuan hukum berjumlah besar dari Bank Indonesia (BI) untuk membantu pejabat BI yang terjerat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) diduga merupakan pintu masuk terjadinya praktik mafia peradilan. Terkait dengan hal itu, Direktur Publikasi dan Pendidikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Agustinus Edy Kristianto, di Jakarta, Selasa, mendesak Kejaksaan Agung (Kejakgung) dan Mahkamah Agung (MA) melakukan pemeriksaan internal terhadap hakim dan jaksa yang menangani kasus BLBI. YLBHI, kata Agus, melihat adanya indikasi terjadinya penyimpangan perilaku, kode etik, maupun dugaan tindak pidana korupsi sehingga pemeriksaan secara internal terhadap aparat kedua instansi itu diharapkan bisa menjaga kredibilitas MA dan Kejakgung secara kelembagaan. "KPK pun harus secara jeli mencermati kemungkinan adanya alat bukti terkait korupsi peradilan kasus BLBI. Karena itu, pemeriksaan harus diarahkan kepada hakim yang pernah menangani kasus BLBI dari tingkat pertama sampai MA, dimana Ketua MA Bagir Manan juga merupakan hakim kasus BLBI," katanya. Berdasarkan laporan Ketua BPK Anwar Nasution kepada KPK tentang aliran dana BI tertanggal 14 November 2006, disebutkan bahwa dana untuk menyelesaikan masalah hukum tidak hanya Rp68,5 miliar dana milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) saja, tapi juga masih ditambah lagi Rp27,7 miliar dana anggaran BI sehingga totalnya mencapai Rp96,25 miliar. Sementara itu, dana yang dialokasikan BI ke DPR senilai Rp31,5 miliar. Laporan itu juga mengungkapkan bahwa dana bantuan hukum berupa cek senilai Rp68,5 miliar yang dicairkan dalam beberapa termin itu diserahkan kepada para oknum penegak hukum di Kejakgung untuk mengurus perkara masing-masing melalui orang ketiga (perantara) agar proses hukum petinggi BI dihentikan. Agus menambahkan, kasus aliran dana BI ke sejumlah anggota DPR bukanlah kasus yang gerbongnya dibawa oleh nafas hukum semata, melainkan sarat dengan unsur politik yang akan menguntungkan individu dan kelompok tertentu. Karena itulah, YLBHI melihat skandal BI ini merupakan cermin persoalan politik dan hukum yang besar di negeri ini. Hal itu, menurut Agus, terlihat dengan "dilepasnya" mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan dalam konstelasi pengusutan kasus ini. Karena itu pula sikap KPK yang tidak menetapkan Aulia Pohan sebagai tersangka, memunculkan isu penggusuran Burhanudin untuk memuluskan jalan bagi Aulia dalam pemilihan Gubernur BI Mei mendatang. Sementara itu, tiga tersangka kasus dugaan korupsi pada aliran dana BI sudah masuk dalam daftar orang yang harus dicegah bepergian ke luar negeri. Namun hingga kini ketiganya belum ditahan. Menurut Direktur Penyidikan dan Penindakan Ditjen Imigrasi Departemen Depkum dan HAM, Syaiful Anwar, penetapan ketiganya ke dalam daftar cekal berlaku sejak 1 Februari 2008. Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto menyatakan, ketiga tersangka belum perlu ditahan. "Yang jelas penyidikan jalan terus dan kami menunggu sampai bukti cukup untuk menahan mereka," kata Bibit. Pada penyidikan lanjutan, Senin (4/2), KPK kembali meminta keterangan tersangka kasus itu, Oey Hoey Tiong. Hari sebelumnya penyidik KPK memeriksa Rusli Simanjuntak. KPK juga mendengarkan keterangan mantan direktur BI Paul Soetopo dan Hendro Budiarto. Sementara dua mantan anggota DPR yang juga hendak didengar keterangannya, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandu, batal bersaksi karena alasan sakit.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008