Mataram (ANTARA News) - Pencitraan pers di era reformasi sekarang nampaknya tercoreng motivasi pengusaha yang berlomba-lomba mendirikan perusahaan pers yang cenderung dijadikan industri yang lebih mementingkan keuntungan. Pendapat itu terangkum dari ungkapan sejumlah elemen masyarakat di Mataram, antara lain seorang pegiat LSM NTB yang merasa ada pergeseran nilai insan pers di era reformasi sekarang dengan periode sebelumnya. "Kalau dulu profesi wartawan disegani karena mereka bekerja dengan hati nurani yang berpihak kepada kepentingan masyarakat luas serta kebenaran, sekarang sangat berbeda," kata Hasan Massad kepada wartawan di Mataram, Jumat. Hassan mengakui ia dekat dengan para pekerja pers, namun dia merasakan ada pergeseran nilai itu, yang mungkin disebabkan oleh tuntutan zaman. Seiring mudahnya mendirikan perusahaan pers, sambungnya, tidak jarang justru pengusaha yang berada di balik perusahaan pers ikut menyumbangkan pergeseran nilai itu. Bahkan tidak sedikit perusahaan pers yang terpaksa harus "melacurkan" prinsip-prinsip pers hanya untuk mendapatkan suatu bantuan berupa kerjasama, baik dengan pihak pemerintah maupun pihak swasta. Oleh sebab itu, ketika terjadi peristiwa yang seharusnya dipublikasikan media secara besar-besaran terpaksa tidak disiarkan hanya demi menjaga nama baik kerjasama yang sudah diikat dengan Nota Kesepahaman. Sehingga jangan heran bila sekarang muncul pameo yang tidak mengenakkan bagi kalangan pers yakni "no money no news", katanya. Lebih lanjut, Hasan mengungkapkan keprihatinan masyarakat terhadap perusahaan pers itu sendiri karena tidak jarang digunakan sebagai alat, baik untuk dan oleh kepentingan perusahaan itu sendiri maupun kelompok tertentu. Demi mendapatkan sejumlah materi, perusahaan media termasuk di NTB, rela memuat berita ataupun iklan diri yang justru menimbulkan antipati masyarakat. Iklan yang justru merugikan masyarakat justru sengaja ditampilkan demi kerjasama yang sudah terlanjur disepakati. "Sehingga dunia pers sendiri disatu sisi bisa merugikan rakyat, tetapi sisi lain justru membela kepentingan rakyat, sehingga sangat tergantung kepada motivasi pengusaha industri pers itu sendiri," katanya. Mengenai banyaknya muncul perusahaan pers yang hanya mengandalkan mesin fotocopy dan seperangkat komputer, dia menyatakan hal itulah yang justru dikritisi masyarakat, karena mendorong percepatan perubahan atau pergeseran nilai-nilai jurnalistik di Indonesia. Tidak sedikit, industri pers tersebut dijadikan batu loncatan sehingga pemahaman terhadap nilai dan keberadaan pers di Indonesia mengalami pembiasan. "Kalau di dunia barat orang mendirikan perusahaan pers karena sudah kelebihan uang, tetapi sebaliknya perusahaan pers di Indonesia dijadikan alat untuk mencari uang," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008