Inovasi tersebut tidak efektif karena Bulog justru kalah bersaing dengan beras lainnya.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin menilai inovasi yang dilakukan Bulog dengan menjual beras dalam kemasan sachet kurang berhasil untuk mencegah penumpukan di gudang.

Andi dalam pernyataan di Jakarta, Kamis, menyatakan inovasi tersebut tidak efektif karena Bulog justru kalah bersaing dengan beras lainnya.

"Sekarang menjual dengan sachet, kalah sama pemain besar," kata Andi yang juga merupakan anggota Fraksi PKS ini.

Untuk itu, ia mengharapkan ada solusi efektif agar beras jutaan ton milik Bulog tidak lagi sekadar menumpuk di gudang.

Andi mengusulkan Bulog kembali mendapatkan kewenangan untuk menyalurkan beras bagi program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

"Intinya, bagaimana keluarkan dulu itu beras. Misalnya untuk rastra (beras sejahtera), buat saja aturannya," katanya.

Baca juga: Laris manis, beras sachet Bulog

Dalam kesempatan terpisah, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengharapkan Bulog mampu memperbaiki manajemen peningkatan kualitas beras.

Dengan kualitas yang lebih baik, menurut dia, beras Bulog diyakini bisa langsung dijual atau disalurkan melalui program BPNT.

Selama ini, tambah dia, beras Bulog kurang diminati oleh para penerima manfaat BPNT sehingga pemilik e-warung lebih mengutamakan beras dari non-Bulog.

"Penting bagi Bulog untuk meningkatkan daya tarik produknya agar diminati oleh masyarakat, terutama para penerima BPNT," ujarnya.

Saat ini, manajemen untuk sinkronisasi data beras mulai dari stok di gudang, produksi hingga kebutuhan belum terlaksana dengan baik, padahal Bulog juga melaksanakan fungsi pengelolaan cadangan beras.

Pengelolaan cadangan ini penting untuk operasi pasar demi menstabilkan harga pangan dan cadangan negara kalau terjadi kondisi darurat seperti bencana alam.

Namun, pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas mengatakan solusi lain untuk mencegah penumpukan beras dengan melakukan operasi pasar bisa menambah masalah baru.

Menurut Dwi Andreas, operasi pasar yang dilakukan Bulog bisa menekan harga gabah di tingkat petani yang selama ini sudah rendah.

"Kalau ada operasi pasar 175.000 ton per bulan, itu pasti berdampak ke petani, padahal sudah tiga bulan ini petani merugi karena harga jual di bawah biaya produksi," ujarnya.

Ia mengatakan fungsi Bulog untuk menyerap gabah dari petani dan mengendalikan harga beras di pasar sudah tidak maksimal dijalankan, apalagi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
Baca juga: Program stabilisasi harga beras diperpanjang hingga Desember
 

Pewarta: Satyagraha
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019