Jakarta (ANTARA News) - Ekonom CSIS Pande Radja Silalahi berpendapat, Ditjen Pajak harus segera memutuskan besaran jumlah dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri Group (AAG), sekaligus mekanisme yang harus ditempuh perusahaan itu untuk membayar pajak yang kurang bayar seperti yang dituduhkan. Menurut Pande Radja di Jakarta, Rabu, jika besaran jumlah yang dituduhkan tidak disepakati atau ditolak pihak AAG, maka kasus tersebut harus dibawa ke Majelis Pertimbangan Pajak. Selanjutnya, majelis inilah yang akan menentukan kebenaran dari besaran jumlah yang dituduhkan untuk dieksekusi oleh aparat terkait. "Pertimbangannya adalah efesiensi waktu untuk menjamin kepastian iklim berusaha di Indonesia," ujarnya. Menurut Pande Radja, semua proses tersebut baru bisa berjalan baik apabila data-data yang mendukung tuduhan itu atau sebaliknya sudah lengkap. "Prinsipnya, kalau sudah jadi kasus, aparat pajak harus bertindak cepat dan transparan untuk kebaikan semua pihak," katanya. Sebelumnya, Dirjen Pajak Darmin Nasution menyebutkan penyelidikan kasus dugaan penggelapan pajak AAG ditargetkan selesai Maret mendatang. Namun penyelesaian kasus yang banyak mendapat sorotan masyarakat tersebut terkesan lamban karena sudah memakan waktu tahunan. Bahkan aparat pajak terkesan tidak mempunyai ketegasan mengenai mekanisme penyelesaian yang dipilihnya, apakah melalui penyelesaian diluar pengadilan (out of court settlement) sebagaimana diatur dlm UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan seperti pernah dilakukan terhadap dugaan penggelapan pajak PT Ramayana Lestari Sentosa, atau melalui jalur hukum (court settlement). Padahal aparat pajak sudah mengantongi ribuan dokumen yang akan digunakan sebagai bukti. Sementara itu Anggota Komisi III DPR Andin Kasim mengatakan percepatan penyelesaian pajak erat kaitannya dengan pemasukan negara dari sektor pajak. Sementara jika melihat rentang waktu yang cukup panjang, dia berpendapat, hal itu telah menimbulkan kesan bahwa Ditjen Pajak telah berlaku tebang pilih dan tidak profesional. "Ditjen Pajak harus profesional menunjukkan kesalahan perusahaan yang bersangkutan," tegasnya. Sebelumnya aparat pajak menduga AAG telah menggelapkan pajak yang dilakukan melalui permainan harga atau transfer of pricing ekspor CPO dengan harga lebih murah. Namun menurut Direktur Eksekutif Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Rosediana Suharto, tudingan itu tentunya harus disertai bukti-bukti otentik. Menurut Rosediana, menjual dengan harga lebih murah belum tentu merupakan indikasi telah terjadi "transfer of pricing" tersebut. Apalagi, ujarnya, harga Rotterdam yang menjadi patokan bukan harga yang diterima eksportir karena masih banyak faktor pengurangan harga, seperti biaya, asuransi dan transportasi (CIF-cost, insurance, freight). "Kalau hanya beberapa dolar lebih murah dari harga rujukan, itu bukanlah transfer of pricing," tegasnya. (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008