Semarang (ANTARA News) - Kematian akibat penyakit kanker akan terus meningkat, bila tidak ada perubahan pola makan, perilaku, gaya hidup, dan lingkungan yang mendukung terciptanya hidup sehat, kata Prof. Muhammad Sulchan, di Semarang, Kamis. Oleh karena itu, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang tersebut mengemukakan, salah satu langkah bermakna untuk mengurangi penyakit kanker yaitu mengonsumsi makanan tradisional (lokal) yang lebih alami. Globalisasi, menurut dia, mendorong terjadinya perubahan radikal dalam sistem retail pangan, yang ditandai dengan menjamurnya "hypermarket", restoran cepat saji, waralaba, "food court" dari berbagai penjuru dunia, yang sebagian besar meyajikan "junk food" (makanan sampah) berisiko kanker tinggi. Penetrasi pangan global, katanya, menyebabkan konvergensi makanan, pergeseran budaya pangan, perubahan pola makan, dan kebiasaan makan tidak sehat, yang ditandai konsumtivisme dan hedonisme yang imitatif. Buruknya hubungan manusia dengan alam yang berpijak pada etika antroposentris, etika yang mengedepankan hasrat manusia, atas alam yang berdampak pada eksploitasi besar-besaran sumber daya alam, hiperkomodifikasi, terutama "fast food", dan hiper konsumsi, akhirnya menyebabkan hidup sangat konsumtif. "Dari sinilah malapetaka penyakit muncul, terutama penyakit-penyakit kronik termasuk kanker," kata Sulchan, yang Sabtu (16/2) bakal dikukuhkan menjadi guru besar di Undip. Dalam sejarah peradaban, menurut dia, manusia mengakses pangan yang dibutuhkan untuk dikonsumsi selalu mengikuti hukum-hukum alam yang terikat secara ekologis dengan makro dan mikrokosmosnya. Alam semesta merupakan tempat manusia belajar banyak hal, termasuk keberagaman, keseimbangan, dan saling ketergantungan yang sinergis. Ketika keberagaman dan keseimbangan terancam oleh perilaku manusia, maka pilar kehidupan akan runtuh. "Ekspolitasi alam berlebihan untuk memenuhi hasrat konsumsi manusia sedang menuju ke arah itu," katanya. Ia menjelaskan, beragam karsinogen (pemicu kanker) ada di dalam pangan, meliputi karsinogen pangan alamiah dan buatan, sumber subtansi selama penyimpanan, proses pengolahan panas tinggi, polutan, pestisida, bahan tambahan pangan, dan sekitar seribu zat bersifat karsinogen. Menurut dia, pengawetan dan pengolahan makanan dengan menggunakan garam, pengasapan bersifat inisiator dan promotor kanker. Makanan cepat saji menggunakan proses pengolahan dan pematangan yang berisiko menyebabkan kanker. "Westernisasi makanan meningkatkan risiko terkena kanker," katanya. Untuk mengurangi risiko kanker, Sulchan menyarankan mengonsumsi makanan lokal yang menggunakan bahan baku alami dan diolah secara tradisional. Selain itu, harus mengonsumsi banyak sayuran dan buah-buahan segar karena pada keduanya terdapat banyak zat yang bersifat antioksidan. Ia menyebutkan, memakan tahu dan tempe berbahan kedelai lokal lebih sehat dibanding kedelai impor dari Amerika Serikat yang masuk kategori GMF (genetically modified food). Kedelai GMF banyak ditolak negara-negara Eropa. "Konsumsi sayuran dan buah asli, bukan ekstraks," katanya mengingatkan. Di tempat sama, Guru Besar FK Undip Prof. Ign. Riewanto mengatakan, kasus kanker usus besar di Tanah Air memang menunjukkan peningkatan. Pada tahun 1934 hanya ditemukan satu kasus, lalu pada 1937 menjadi tujuh, dan saat ini prevalensinya sekitar 1,8 per 100.000 penduduk. Dibandingkan prevalensi di AS dan negara maju lainnya, kasus kanker usus besar di Indonesia memang masih rendah namun hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengurangi jumlah pengidapnya. Di AS, angka kejadiannya 40 per 100.000 orang, Eropa (30), Jepang (13), India (9), dan Nigeria 2,5 kasus per 100.000 penduduk. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008