Manado (ANTARA News) - Dunia usaha yang paling terpukul oleh dampak kenaikan harga minyak dunia yang kini berada pada kisaran 100 dolar AS per barel adalah sektor manufaktur. "Manufaktur terpukul karena ketergantungan yang besar terhadap listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM), makanya ketika harga minyak dunia tinggi seperti saat ini, dampaknya dirasakan sangat berat," kata Peneliti INDEF, Aviliani, di Manado, Sulawesi Utara, Sabtu. Tahun 2007, sektor manufaktur tidak meningkat secara signifikan, hal ini merupakan dampak minyak yang terus bergejolak, dan hal ini masih akan dirasakan tahun ini karena harganya yang tetap tinggi. Kendati sektor manufaktur akan mengalami pukulan berat, tetapi Aviliani optimis ekspor Indonesia masih akan tetap bertumbuh, hal ini disebabkan ekspor produk makanan dan agrobisnis yang semakin cerah di pasar internasional. Meskipun demikian dia, mengingatkan dunia usaha untuk berpikir bagaimana mengurangi ketergantungan terhadap impor sebab dampaknya justru sangat merugikan ketika terjadi gejolak global. Guna menciptakan dunia usaha tangguh, pemerintah harus membiarkan industri yang berbasis hulu hilir tumbuh sebab justru akan tercipta efisiensi, selama ini industri tersebut tidak dibolehkan pemerintah karena dianggap monopoli. Selain itu, pemerintah harus memberikan proteksi industri agrobisnis khususnya pertanian pangan, dengan suku bunga perbankan rendah serta stabilisasi harga seperti halnya dilakukan Bulog untuk komoditi beras. "Harga bahan pangan di pasaran harus ada intervensi pemerintah, jangan dibiarkan berdasarkan mekanisme pasar, sebab pada akhirnya pedagang yang memainkan harga,"ujar Aviliani. Hasil dari perhatian lebih terhadap sektor agrobisnis ini memang tidak langsung terlihat dalam satu tahun, tetapi mungkin baru terlihat dua tiga tahun ke depan, tetapi dampaknya akan terasa pada pertumbuhan ekonomi. "Tahun 2008 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tetap konservatif berkisar 6,3 persen,"kata Komisaris Independen BRI itu. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008