Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Rabu, menolak nota keberatan (eksepsi) mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Roesdihardjo, yang disampaikan oleh tim kuasa hukumnya. Majelis hakim dalam putusan sela menyatakan eksepsi kuasa hukum telah memasuki pokok perkara, terutama terkait dengan dalil eksepsi salah orang (eror in persona). Sebelumnya, tim kuasa hukum menyatakan, Roesdihardjo tidak bisa didakwa karena mantan Kapolri itu bukan pembuat kebijakan pemberlakuan tarif ganda untuk pengurusan dokumen keimigrasian. Kebijakan itu, menurut kuasa hukum, adalah kebijakan duta besar sebelumnya, Jacob Dasto. Menurut majelis hakim yang diketuai Moerdiono, keberatan itu sudah memasuki pokok perkara sehingga tidak sesuai dengan hakikat eksepsi. Majelis juga membantah keberatan kuasa hukum bahwa dakwaan JPU tidak jelas karena tidak menyebutkan waktu kejadian (tempus delicti) secara jelas. Kuasa hukum menilai dakwaan yang hanya menyebutkan waktu kejadian pemberlakuan tarif ganda pada Januari 2004 sampai Oktober 2005 merupakan kelemahan JPU dalam menyusun surat dakwaan. Sementara itu, majelis hakim menyatakan, penulisan kurun waktu Januari 2004 sampai Oktober 2005 merupakan hal yang biasa dalam penyusunan dakwaan dan dibenarkan oleh KUHAP. Terkait permohonan penangguhan penahanan, majelis belum memutuskan menerima atau menolak permohonan tersebut. "Sampai sekarang belum bisa memberikan jawaban," kata Moerdiono. Menurut dia, majelis hakim akan menggelar rapat lanjutan untuk memutuskan tentang permohonan penangguhan penahanan Roesdihardjo. Roesdihardjo sebelumnya didakwa merugikan negara 6,180 juta ringgit Malaysia (RM) atau setara Rp15,45 miliar dalam kasus dugaan korupsi pungutan liar di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. Roesdihardjo, yang didakwa bersama dengan Mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur Arihken Tarigan, dinyatakan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dari pemberlakuan SK Ganda untuk kepengurusan dokumen keimigrasian di KBRI Kuala Lumpur. Selama menjabat Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Malaysia, Roesdihardjo didakwa setiap bulan menerima 30.000 hingga 40.000 RM atau seluruhnya sebesar 660.000 RM hingga 880.000 RM atau setara Rp1,65 miliar sampai Rp2,2 miliar. Sedangkan Arihken dan para pegawai KBRI Kuala Lumpur lainnya didakwa menerima 5,3 juta RM atau setara Rp13,25 miliar. Uang yang diterima Roesdihardjo dan Arihken itu berasal dari pemberlakuan SK Ganda No021/SK-DB/0799 tanggal 20 Juli 1999 yang memberlakukan tarif yang lebih tinggi dari yang sebenarnya untuk biaya kepengurusan dokumen imigrasi.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008