Masalah kita adalah banyaknya ALDFG (jaring hantu) yang hanyut di laut dan menyebabkan kerusakan lingkungan karena komponen utama ALDFG adalah plastik
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia mempromosikan hasil riset perikanan Indonesia berupa alat penanda jaring untuk mengatasi sampah laut dalam Workshop on the Best Practices to Prevent and to Reduce Abandoned Lost or Otherwise Discarded Fishing Gear (ALDFG) yang digelar di Kuta Bali, 8-11 Juli 2018.

Alat penanda yang ditemukan Dr Fayakun Satria dan tim itu dapat mengidentifikasi dan melacak hilangnya jaring nelayan di tengah laut yang menjadi sampah dan mengotori lautan atau kerap disebut ALDFG atau jaring hantu (ghost gear).

"Masalah kita adalah banyaknya ALDFG yang hanyut di laut dan menyebabkan kerusakan lingkungan karena komponen utama ALDFG adalah plastik," kata Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Basilio Dias Araujo dalam siaran pers di Jakarta, Rabu.

Basilio berharap hasil riset anak bangsa itu bisa lebih dikenal di komunitas internasional sehingga semakin banyak negara yang memanfaatkannya.

Ia pun optimis teknologi Fayakun dan tim akan mudah diadopsi karena menggunakan bahan alami yang mudah didapat dan murah.

Terpisah, Fayakun Satria, peneliti perikanan dari Balai Riset Perikanan Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan apresiasinya kepada Kemenko Bidang Kemaritiman karena telah diberi panggung untuk mempromosikan hasil penelitiannya.

Pada Juli 2018, Fayakun telah mempresentasikan hasil risetnya untuk "gear fishing marking" dalam pertemuan Committee on Fisheries (COFI) FAO di Roma. Alat tersebut menurut telah dimasukkan dalam draft petunjuk FAO tentang manajemen alat tangkap untuk nelayan kecil yang dapat diaplikasikan secara sukarela.

"Gear marking" untuk jaring insang tersebut telah diujicoba oleh Fayakun dan tim di wilayah pesisir Sadeng, Yogyakarta dan Pekalongan pada kurun waktu 2017-2018.

"Nelayan sudah mencoba dan tidak ada masalah, bahkan mereka mau menggunakannya," tuturnya.

Penanda jaring insang yang dibuat oleh Fayakun itu diklaim aman bagi lingkungan karena bahannya terbuat dari bambu atau kayu dan tali pengikatnya terbuat dari daun pandan.

Namun demikian, menurut peneliti senior di KKP itu, ada masalah lain yang dihadapi oleh pemerintah saat ini, yakni bagaimana menarik jaring insang yang sudah berserakan di laut ke daratan (retrieval).

"Karena masalah ALDFG atau jaring hantu ini tidak hanya dihasilkan oleh perikanan skala kecil, namun juga industri perikanan skala besar, maka dalam waktu dekat kami berencana untuk membuat penanda jaring dari bahan alami namun dilengkapi dengan barcode atau kode unik," katanya.

Selain itu, penelitian lanjutan juga akan dilakukan tahun ini untuk mengembangkan alat tangkap bubu yang produktif dan ramah lingkungan lengkap dengan penandaannya (gear marking).

Lebih jauh, Fayakun menjelaskan bahwa dalam barcode tersebut akan menyimpan data tentang pemilik jaring dan di wilayah mana mereka beroperasi.

"Dengan peralatan elektronik, barcode itu akan dipindai untuk mendapatkan informasi tentang pemilik jaring yang telah ditemukan setelah proses 'retrieval' dilakukan," imbuhnya.

Data yang tersimpan dalam "barcode" juga dapat memberikan informasi awal dalam proses "retrieval" (penarikan).

Hasil temuan Fayakun kini telah dimasukkan dalam rekomendasi rujukan cara efektif untuk manajemen pencegahan dan pengelolaan ALDFG yang disusun oleh berbagai lembaga di Indonesia, LSM internasional dan FAO di Bali. Selain pengalaman terbaik dari penelitian Fayakun, draft rujukan FAO tersebut juga berasal dari negara-negara di Eropa, Amerika serta Asia Pasifik.


Baca juga: Indonesia-FAO akan susun regulasi pengelolaan jaring hantu
Baca juga: Pemerintah perlu terapkan insentif dan disinsentif atasi sampah laut
Baca juga: KNTI ungkap zat beracun dari sampah plastik tipu biota laut

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019