Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung resmi membubarkan tim penyidik dua kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang beranggotakan 35 jaksa, setelah hasil penyelidikannya terhadap perkara itu tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindakan korupsi. "Tidak menemukan adanya perbuatan melawan hukum yang mengarah ke tindak pidana korupsi," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman ketika mengumumkan hasil penyelidikan kasus tersebut, Jumat. Ke-35 jaksa tersebut nantinya akan dikembalikan ke tugas fungsional untuk menangani sejumlah kasus tindak pidana khusus yang lain. Kejaksaan Agung, katanya, akan memberikan penghargaan kepada anggota tim tersebut yang dinilai berprestasi. Tim penyelidik yang telah dibubarkan, kata Kemas, menyimpulkan tidak ada perbuatan melanggar hukum dalam dua kasus BLBI. Dua kasus tersebut adalah penyerahan aset obligor atau pemegang saham pengendali (PSP) atas kucuran BLBI pada 1997 dan 1998. Kejaksaan Agung menyelidiki dugaan pelanggaran hukum penyerahan aset obligor atau pemegang saham pengendali (PSP) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam dua kasus tersebut. Pada 18 Juli 2007, Kemas memaparkan, pada 1998 terjadi kucuran BLBI sebesar Rp35 triliun. Dalam rangka pelaksanaan "Master Settlement for Acquisition Agreement" (MSAA) pada September 1998, Jumlah Kewajiban Pemegan Saham (JKPS) atas kucuran tersebut meningkat menjadi Rp52,7 triliun. Kemudian BPPN menindaklanjuti perhitungan itu dengan bantuan auditor independen dengan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu Rp52,6 triliun. Dengan begitu, kata Kemas, maka obligor diperkirakan akan dapat menyerahkan aset kepada negara. Kemudian, 108 perusahaan yang terafiliasi dalam Grup Salim menyerahkan aset untuk pelunasan. Pada 2006, perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan nilai aset yang diserahkan kepada negara hanya Rp19 triliun, lebih sedikit dari nilai awal kucuran BLBI dan JKPS. Kemudian kasus yang kedua adalah kucuran BLBI sebesar Rp37 triliun pada 1997. Berdasar audit BPK, dana BLBI membengkak menjadi Rp49,189 triliun, dengan JKPS sebesar Rp28,408 triliun setelah dikurangi aset bank penerima BLBI sebesar Rp18,850 triliun. Penyerahan aset senilai Rp28,408 triliun itu akan dibayar tunai Rp1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp27,495 triliun. Namun demikian, setelah dilakukan perhitungan oleh auditor dari Pricewaterhouse Cooper pada 2000, nilai aset hanya Rp1,441 triliun. Nilai aset itu mengalami kenaikan menjadi Rp1,819 triliun setelah dijual dan masih terdapat sisa aset sebesar Rp640 miliar. Dengan begitu, uang yang diterima BPPN hanya Rp3,459 triliun yang terdiri dari pembayaran tunai (Rp1 triliun), penjualan aset (Rp1,819 triliun), dan sisa aset (Rp640 miliar). Jampidsus menegaskan, pengembalian utang telah dilakukan oleh pemegang saham atau penanggung BLBI. Perhitungan nilai aset juga dilakukan oleh auditor independen dengan tidak menyalahi aturan hukum. "Semua telah dilaksanakan dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata Jampidsus. Dia menyadari telah terjadi penurunan aset setelah penjualan, sehingga ada selisih yang sangat besar antara nominal kucuran BLBI dengan nominal aset yang diserahkan kepada negara sebagai pembayaran hutang. Penyusutan itu, kata Jampidsus, merupakan masalah ekonomi yang tidak ada kaitannya dengan pelanggaran hukum. Dia mencontohkan aset PT Dipasena milik Sjamsul Nursalim yang terjerat kasus BLBI mengalami penurunan ketika akan dijual pada 2007. Awalnya aset yang ditaksir bernilai Rp19 triliun tersebut akan digunakan untuk menutup hutang BLBI. Ketika aset tersebut akan dijual dan diaudit pada 2007, aset tersebut hanya bernilai Rp400 miliar. Untuk itu, Jampidsus menyimpulkan, penurunan nilai aset yang diserahkan kepada negara merupakan masalah ekonomi yang menjadi kewenangan Departemen Keuangan. "Ini kami serahkan sepenuhnya kepada Menteri Keuangan," kata Jampidsus.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008