Johor Bahru, Malaysia (ANTARA News) - Wajah-wajah rindu pada keluarga, kerabat dan kampung halaman, disertai pernyataan ingin secepatnya dipulangkan, mengisi relung rumah singgah di kanan gedung utama Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Johor Bahru, Malaysia. Rumah singgah KJRI Johor Bahru, Selasa, 26 Februari 2008 dihuni tiga bayi dan 26 perempuan pekerja migran asal Indonesia yang 80 persen di antaranya sedang mengurus tunggakan gaji yang belum dibayar majikan. Selebihnya, yang 20 persen, ditampung dan dilindungi karena menjadi korban pelecehan seksual dan perkosaan. Ada pula di antara mereka yang dipulangkan majikan karena hamil dan harus bersalin. Hari itu, Selasa, 26 Februari 2008, pada rehat siang, Konsul Jenderal Renvyannis Gazali menunaikan permintaan untuk memberi nama pada bayi perempuan berusia delapan hari, buah hati pasangan RS dan MM. FS, nama itu, diberikan Gazali memenuhi permintaan ibunya, RS. MM, ayah sang bayi, pernah bekerja sebagai buruh bangunan di Port Klang, Selangor, dan kini tinggal di Surabaya. Sebagai yang dituakan di negeri rantau, Gazali dan nyonya, juga menyampaikan bubur merah untuk Rista Avita Putri, bayi berusia 11 hari, buah kasih Niken Ayu Lestari dan Aris. Di lantai keramik beralaskan tikar anyaman plastik, syukuran dengan hidangan nasi kuning sejenak menghempas kerutinan. Sementara itu, di ruang tunggu layanan dokumen di kiri kantor, sekitar 200 orang dari pagi sampai petang antre mengurus surat untuk tetap bisa bekerja di Malaysia. Usai dikhidmati doa, suasana dipecahkan derai tawa ibu-ibu penghuni rumah singgah ketika dengan gemas menyapa Konsulary Fajar Nugraha, bayi lelaki berusia tujuh bulan, buah cinta Wahyu Winarsih dan Yayak, asal Kediri, Jawa Timur. Tiga balita, tiga ibu. Tiga sebab "terdampar" di negeri orang. Mereka masih menunggu waktu untuk ke kampung halaman atau hidup wajar di luar penampungan. RS menjadi penghuni rumah singgah sejak 30 September 2007 setelah mengalami tragedi saat usia kehamilan 2,5 bulan. Di Muar, 7-8 September 2007, perempuan itu diperkosa 12 lelaki di hotel dan di gudang kosong. Perkara hukumnya, melibatkan seorang polisi Malaysia sebagai tersangka. RS dara kelahiran Lampung, ke Malaysia tahun 2006 untuk bekerja. Tidak tahan, tiga bulan kemudian ia melarikan diri dari rumah majikan. Di jalan, ia ditolong seorang lelaki Indonesia, MM. Belakangan, keduanya saling jatuh cinta dan menikah. Pada 7 September 2007 malam, di tempat tinggal di Damansara, Petaling Jaya, Selangor, pasangan itu didatangi tiga lelaki yang mengaku sebagai polisi. Para tamu selain "memeriksa" surat-surat, juga merampok uang, telepon genggam mereka. Kepada tiga pria itu MM sempat menanyakan kartu tanda polisi, namun dijawab dengan bogem mentah. "Saya waktu itu hanya memegang fotokopi paspor," kata RS sambil memeluk hangat bayinya yang baru mendapatkan nama. Karena fotokopi paspor pula, ketiga perampok membawa paksa RS dari rumahnya. Di perjalanan, RS mereka ancam akan dibawa ke balai polisi dan karenanya bisa dipenjara selama dua tahun. Tetapi, bila bersedia menuruti kemauan pelaku, RS akan diiming-imingi akan dibebaskan, kata Kabid Urusan Konsuler dan Ketenagakerjaan KJRI Johor Bahru Didik Trimardjono. Mereka membawa RS dengan sedan ke arah kota Muar, Johor, dan langsung "check-in" di Hotel River View. "Di hotel, ada tujuh orang lagi," kenang RS. Mereka bergantian memerkosanya. Keesokan harinya, pelaku mengatakan ada temannya yang akan mengantar RS ke rumah di Damansara. "Ternyata, mereka telah menjual saya 400 ringgit kepada tiga lelaki lain," kenang RS. Seingat RS, ketiga orang itu melakukan perbuatan yang sama, di sebuah gudang kosong. Lepas dari gudang, RS ditolong seseorang yang kemudian mengantarnya ke terminal bis Muar, untuk kembali ke rumahnya di Damansara, Selangor. "Kepada suaminya, musibah ia ceritakan. Beberapa kawan mereka lalu melaporkan kejadian tersebut ke Balai Polisi Damansara, Petaling Jaya, Selangor," kata Didik. Atas laporan itu, aparat kepolisian di Malaysia menangani dan perkara tersebut. Dua belas di antara kawanan kriminal itu kini menjadi tersangka, seorang di antaranya polisi. Sedang seorang di antara mereka dinyatakan negatif. Kesaksian RS sebagai korban akan diminta pengadilan, tetapi entah kapan. Dalam penantian, RS berharap, para pelaku dihukum seberat-beratnya. Namun, dalam setarikan nafas, ia juga ingin segera dipulangkan ke Surabaya. "Kalau bisa, kasus ini ditutup saja," gumamnya. Penantian Panjang Di rumah singgah, para penghuni mendapat layanan kesehatan, kecukupan makanan, bimbingan keagamaan dan dukungan psikologis, namun tetap terasa sebagai penantian tak bertepi. "Ibaratnya kami tinggal makan dan tidur. Entah harus sampai kapan," kata Wahyu Winarsih. Wahyu sudah hampir setahun terdampar di rumah singgah. April 2007 dari Kediri, Jawa Timur, dalam keadaan hamil, ia kembali ke Johor sebab majikannya mengingkari janji mentransfer sisa gaji untuknya selama empat tahun (2003-2007). Karena majikannya tak bisa diajak tim JKRI untuk menyelesaikan di luar pengadilan, maka diperkarakan ke pengadilan. Mahkamah Perburuhan Negeri Johor, 30 November 2007 memvonis sang majikan untuk membayar 12.540 ringgit kepada Wahyu. Tetapi, sampai kini belum juga direalisasikan. Berada di "sangkar emas" dengan layanan akomodasi dan perlindungan kekonsuleran, tak urung membuat Wahyu tetap merasa rindu berat pada suami di kampung halaman, apalagi Konsulary telah ia lahirkan tujuh bulan silam dalam perjuangan mendapatkan gaji. "Kalau bisa, saya cepat-cepat dipulangkan. Uang dari majikan `kan bisa ditransfer," katanya. Di antara 29 penghuni rumah singgah KJRI Johor Bahru, Darmini (Sunainah) adalah penghuni terlama dalam menanti pembayaran gaji. Perempuan asal Kroya, Cilacap Jawa Tengah itu, sudah 49 bulan tinggal di rumah singgah. Untuk mengurangi kejemuan, ia diberi kesibukan, membantu pimpinan asrama menjemput calon penghuni baru dan menyusun berkas penghuni. Darmini yang nama lainnya adalah Sunainah, di Mahkamah Perburuhan Negeri Johor, 29 Oktober 2007, dinyatakan berhak mendapatkan gaji yang bila dirupiahkan setara 130 juta. Selama 14 tahun tujuh bulan, sang majikan tidak memberi gaji pada Sunainah, kecuali makan dan pakaian sekedarnya sebagai pembantu rumah tangga dan penjaga kedai runcit (toko kelontong). Mahkamah memerintahkan mantan majikan Sunainah untuk membayar kewajiban itu dalam tempo sebulan sejak vonis atau dikenai denda bunga. Akan tetapi, terhukum mengajukan banding. Sunainah kepada Konjen Gazali minta untuk dipulangkan saja. "Saya kangen, ingin ketemu adik dan paman di kampung," katanya. Menanggapi harapan-harapan Darmini dan kawan-kawan senasib, Wakil Kepala Perwakilan RI di Johor Bahru Budi Prakoso meminta semua dapat kuat dan bersabar. Didik Trimardjono pun memahami selain untuk menyewa jasa pengacara di Johor pun pemerintah rata-rata mengeluarkan 20 ribu ringgit per kasus; proses hukum di Malaysia terasa sangat panjang waktunya bagi para perantau. "Namun, bagaimanapun kesaksian RS sangat penting artinya supaya 12 pelaku pemerkosaan keji, tidak lolos dari hukuman," kata Didik, meminta kesabaran dari RS. Begitu juga kepad Sunainah dan yang lain, ia berharap dapat menunggu hingga proses hukum di mahkamah tinggi selesai. Sama seperti pada kasus Darmini, majikan Wahyu Winarsih pun majikan berdalih telah membayar gaji, padahal menurut kedua korban, tanda tangan dan cap jempol pada tanda terima itu dipalsukan majikan. "Kasus pidana penipuan itu, belum kami proses. Selama ini, kami fokus bagaimana majikan membayar gaji," kata Budi Prakoso yang kini juga menjadi Plt Kepala Penerangan Sosial Budaya KJRI Johor Bahru. Soal majikan yang tak membayar gaji, Romla (47) asal Bengkulu berpendapat bahwa kejadian-kejadian disebabkan mereka yang memerlukan jasa pembantu rumah tangga, memaksakan diri padahal belum mapan secara ekonomi. Ia yang tak dibayar gaji selama setahun dan karenanya menjadi penghuni rumah singgah mengatakan, kelakuan-kelakuan seperti itu bukan khas dan melekat pada satu-dua etnik di Malaysia, melainkan karena individu-individu yang sok kaya. Padahal, katanya, mereka hidup dengan serba kredit. Rumah kredit, meubeler kredit, mobil kredit. "Sejelek-jeleknya saya di kampung, punya tanah luas dan mebeler di rumah pun dua set. Di rumah majikan, kursi setnya pun dari hasil kreditan," katanya dengan menambahkan, kapok bekerja di Malaysia. Tidak semua pekerja dijahati majikan dan atau polisi. "Saya ini beruntung. Majikan saya di Klewang Tebrau baik," kata Niken, berusia 27 tahun. Majikan, mengantarnya ke rumah singgah dan membiayai persalinan di rumah sakit. Niken tak bermasalah dengan majikan, dan bersyukur karena dapat segera ke Tanah Air untuk berkumpul dengan suaminya, Aris. Di sela-sela kebahagian Niken, wajah Suwantini, 22, diselimuti mendung. "Ya, saya pasti ikut berbahagia, tetapi juga bersedih. Ingat pada anak sendiri," katanya, di lantai rumah singgah. Ketika bersalin, ia terserang "stroke" dan hingga kini belum pulih sepenuhnya. "Mengurus badan sendiri saja tak mampu. Lebih baik, bayi, saya berikan kepada seorang polisi di Batu Pahat," kata Suwantini, yang suaminya sudah kembali ke Lombok, Nusa Tenggara Barat.(*)

Oleh Oleh A. Jo Seng Bie
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008