Jakarta, 4/3 (ANTARA) - Indonesia seharusnya juga mengembangkan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based-economy/KBE) langsung di bawah kepemimpinan Presiden untuk menghadapi persaingan global yang makin ketat, mengingat saat ini dunia telah memasuki era KBE. Menurut mantan Menristek, Prof Dr Zuhal dalam peluncuran bukunya berjudul "Kekuatan Daya Saing Indonesia" di Jakarta, Selasa, di negara-negara lain pengembangan KBE langsung dipimpin Presiden atau Perdana Menteri, sementara di Indonesia hanya ditangani oleh Menristek. Ia mencontohkan di negara seperti AS yang tidak memiliki Kementerian Ristek, karena kebijakan mengenai iptek langsung di bawah Presiden, sehingga pengembangan teknologi berdaya saing berjalan dengan baik. "Menristek disuruh mengkoordinasi berbagai departemen itu siapa mau dengar? Lembaganya saja tidak berbentuk departemen, anggarannya saja ditentukan Depkeu," kata Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia itu, dalam bedah bukunya yang dihadiri banyak pakar, seperti kepala LIPI Umar Jenie, Kepala BPPT Said Jenie, Kepala Batan Hudi Hastowo, Kepala BMG Sri Woro dan lain-lain. Menurut dia, perekonomian Indonesia bisa terpuruk karena ketidakkonsistenan dalam kebijakan yang bervisi iptek. "Jika beberapa puluh tahun lalu Indonesia menjadi model perkembangan SDM dan Iptek yang maju di Asean, sekarang hanya menjadi negara yang tertinggal. "Ke mana SDM yang telah dikembangkan dengan begitu rupa di masa lalu? Mereka kini tak dihargai. Hasil-hasil risetnya juga tak dipakai. Banyak dari mereka justru dipakai di Eropa dan banyak negara lain," katanya. Puspiptek (Pusat Penelitian Iptek) di Serpong yang dulu dibangun untuk mengembangkan jaringan antara lembaga riset dan industri di masa depan, kini terbengkalai dan hanya diurus oleh deputi di bawah kementerian ristek dengan pola pembiayaan seperti PNS, ujarnya. "Sementara kita iri dengan pusat-pusat riset yang tumbuh besar di China, seperti Dalian Software Park atau Bangalore Software Park di India, yang menjadi barometer teknologi informasi dunia," katanya. Ia mengingatkan, kemajuan bangsa harus dibangun melalui Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan sistem KBE yang saat ini dikembangkan di dunia sudah seharusnya juga diterapkan di Indonesia. KBE, katanya, adalah suatu sistem di mana produksi, distribusi, dan pemanfaatan iptek menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi, penciptaan pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan. Ia menyebutkan, 70-80 persen pertumbuhan ekonomi di dunia merupakan kontribusi penggunaan pengetahuan yang lebih baik. Sayangnya anggaran iptek pada APBN 2006 hanya 1,76 triliun dan Rp2,2 triliun pada 2007. Angka itu, menurut Wakil Kepala LIPI Prof Dr Lukman Hakim sangat memprihatinkan di tengah besarnya belanja iklan nasional yang saat ini mencapai Rp40 triliun, meningkat 10 kali lipat dibanding tahun 1998 ketika Indonesia mengalami masa krismon. "Hasilnya Indonesia menjadi bangsa perokok. Atau menjadi bangsa konsumen, atau pengimpor dari luar," katanya. Lukman juga mengatakan adalah kesalahan fatal Indonesia mau saja didikte IMF yang mengharuskan perusahaan penerbangan berusia muda seperti IPTN tidak boleh dibiayai negara, padahal dalam jangka panjang perusahaan tersebut merupakan investasi masa depan. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008