Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemberantasan korupsi di Indonesia belum maksimal antara lain karena penegakan hukum di Indonesia tidak seimbang dengan upaya mengembalikan aset negara yang hilang. "Seharusnya ada sinergi antara penegakan hukum dan pengembalian aset negara yang hilang," kata Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, di Jakarta, Rabu. Menurut dia, pemberantasan korupsi di Indonesia lebih dititikberatkan pada pengembalian jumlah aset negara yang hilang sedangkan penegakan hukum dan peningkatan integritas penegak hukum kurang diperhatikan. Ia merujuk pada kasus penangkapan Jaksa Urip Tri Gunawan. Penangkapan Jaksa Urip, lanjutnya, wujud dari integritas penegak hukum yang rendah. Ia menjelaskan ada sejumlah masalah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia di antaranya yaitu disorientasi strategi pemberantasan korupsi dan kinerja penegak hukum yang buruk. "Maka dari itu kita merekomendasikan agar para penegak hukum mengkaji ulang strategi pemberantasan korupsi, sinergi antara penegakan hukum dan pengembalian aset, serta pengawasan pelayanan publik," katanya. Ia menilai, saat ini belum ada strategi yang jelas dalam memberantas korupsi, apakah telah memperhatikan kualitas dan efek jera. "Saya menilai pemberantasan korupsi lebih dititikberatkan pada kuantitas daripada kualitas. Akibatnya korupsi masih berjalan," ujarnya. Ia merujuk pada hasil survei terbaru yang dikeluarkan lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hong Kong yang menyebutkan Indonesia sebagai negara terkorup setelah Filipina dan Thailand. Jajak pendapat dilaksanakan dengan melibatkan sekitar 1.400 pelaku bisnis di 13 negara Asia. Hasil jajak pendapat menyebutkan indeks persepsi korupsi di Filipina yaitu 9,40. Di bawahnya, Thailand dengan skor delapan dan Indonesia menempati posisi ketiga dengan skor 7,98. Sementara itu, ditemui dalam kesempatan yang sama, Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengatakan tindakan korupsi yang terjadi akibat tidak ada keseriusan untuk memberantas. "Harus serius, jangan hanya berbicara," katanya. Hal senada juga disampaikan Deputi Direktur Yayasan Sciene dan Estetika (SET), Agus Sudibyo. Pemberantasan korupsi dapat dilakukan, salah satunya dengan mengesahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang masih di bahas di DPR. Undang-Undang tersebut, lanjutnya, mewajibkan setiap badan publik untuk terbuka. Masyarakat memiliki hak untuk mendapat informasi tentang keuangan badan publik, kata Agus, agar masyarakat dapat ikut mengawasi kinerja badan publik. "Jika undang-undang ini disahkan maka saya yakin dapat menaikkan indeks persepsi korupsi Indonesia," katanya. (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008