Dakar, Senegal (ANTARA News) - Ketika pada 21 Agustus 1969 pengikut fanatik Kristen dan Yahudi di Yerusalem membakar Masjid Al Aqsa, tempat suci bagi kaum mulsim, negara-negara berpenduduk mayoritas Islam memutuskan untuk bersatu mencegah tindakan anarkhis itu. Mereka secara resmi bersatu di bawah bendera Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 12 Rajab 1389 Hijrah atau 25 September 1969. Kini setelah hampir 40 tahun terbentuk, OKI beranggotakan 57 negara yang berasal dari berbagai belahan dunia. Namun, organisasi yang mula-mula didirikan dengan tujuan politis itu beberapa tahun terakhir ini dinilai "melempem" (kurang berperan). Sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dunia Islam dan seharusnya dapat diselesaikan oleh OKI seakan lewat begitu saja tanpa campur tangan berarti organisasi itu. OKI juga bisa dibilang hampir gagal mewujudkan cita-cita awalnya yang disepakati pada pertemuan pertama pemimpin dunia Islam, yaitu menyelamatkan Masjid Al Aqsa karena hingga detik ini Israel dikabarkan masih melakukan penggalian di bawah masjid itu. Ketidakberdayaan OKI menyelesaikan sejumlah masalah yang dihadapi para anggotanya mengkhawatirkan bagi masa depan organisasi itu. Jika itu berlanjut maka bukan tidak mungkin OKI akan terjebak semakin dalam dan berubah menjadi sekedar "talking-shop" atau ajang bincang-bincang para pemimpin dunia Islam. Padahal, banyak pekerjaan yang menanti untuk diselesaikan, sebut saja konflik menahun Palestina yang telah menngorbankan jutaan nyawa warga sipil, konflik Irak, Chad, Darfur, Somalia, atau isu Islamophobia yang melanda negara-negara non-Islam. Itulah sebabnya menjelang usianya yang ke-40, seruan-seruan untuk revitalisasi OKI makin mengemuka. Sebuah usulan yang patut dipertimbangkan oleh para pemimpin dunia Islam dalam pertemuan tingkat tinggi/KTT ke-11 OKI yang diselenggarakan di Senegal, 8-14 Maret. Agenda Indonesia Pemerintah Indonesia yang telah mengikuti perjalanan OKI sejak tahun pertama pembentukan organisasi itu secara khusus mengagendakan upaya revitalisasi peran OKI guna menjadi wadah negara-negara anggotanya untuk menjawab tantangan Umat Islam pada abad ke-21 dalam pertemuan itu. Salah satu tantangan yang dihadapi umat Islam di era keterbukaan ini adalah memberikan pemahaman yang tepat mengenai Islam kepada negara-negara non-muslim. Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Indonesia sangat aktif menyuarakan dialog antar-umat beragama untuk meningkatkan saling pemahaman dan penghormatan atas perbedaan-perbedaan sehingga tidak timbul friksi-friksi antar umat beragama. Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda mengatakan bahwa sikap Pemerintah Indonesia itu didasarkan kepada penilaian bahwa dunia saat ini tidak sedang mengalami benturan kebudayaan atau "class of civilization" seperti yang banyak disebutkan oleh berbagai kalangan. Sejumlah kasus yang terjadi beberapa waktu terakhir seperti kasus penerbitan karikatur Nabi Muhammad SAW lebih diakibatkan dari kesalahpahaman atau perbedaan interpretasi akan suatu topik tertentu. Dialog adalah pilihan strategis dewasa ini khususnya dalam masyarakat plural dan multikultural seperti Indonesia agar seluruh pihak dapat hidup berdampingan dengan landasan etik bersama dalam membangun kerukunan dan perdamaian, yaitu nilai-nilai saling memahami dan menghormaati. Insiden gambar kartun yang mengolok-olok Nabi Muhammad SAW di Denmark pada awal 2006 yang kemudian beberapa kali terulang, telah memancing reaksi keras yang memperlebar jurang perbedaan barat dan timur. Sementara itu keputusan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk pertama kalinya menunjuk utusan khusus bagi OKI, Sada Cumber, hendaknya juga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh OKI untuk meningkatkan dialog. Sebagai Utusan Khusus, Sada Cumber akan bertindak sebagai wakil pemerintah AS untuk OKI, dan berupaya meningkatkan saling pengertian dan dialog antara AS dan komunitas muslim di seluruh dunia. Tidak Kompak Terkait dengan "kebisuan" OKI dalam beberapa waktu terakhir, pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hariyadi Wiryawan menilai bahwa selama ini OKI memang hanya berfungsi sebagai forum konsultasi oleh para anggotanya. "OKI tidak lagi memiliki kapasitas untuk menekan angoota-anggotanya apalagi berkiprah di tingkat internasional," ujarnya. Menurut Hariyadi hal itu diakibatkan oleh tumpang-tindihnya kepentingan para anggota OKI dalam setiap konflik yang di hadapi dunia Islam. "Hampir di semua kasus, mulai dari konflik Palestina sampai Darfur," katanya mengenai ketidakkompakan anggota OKI. Hariyadi menegaskan revitalisasi oKI, yang diusung oleh Indonesia, adalah ide yang bagus. Namun, lanjut dia, itu hanya akan terjadi jika ada kemauan politik yang kuat dari seluruh anggotanya. Sekalipun OKI bukan satu-satunya organisasi yang terjebak menjadi "talking-shop" tapi untuk cita-cita mulia yang pernah disepakati bersama hendaknya OKI kembali bangkit. Tigapuluh delapan tahun telah berlalu, cukup sudah bersantai. Setidaknya lebih dari 100 rakyat sipil yang kembali menjadi korban dalam serangan terbaru Israel di Jalur Gaza awal bulan ini dapat memberi alasan kuat bagi negara-negara OKI untuk menyelaraskan pendapat dan menciptakan kebersamaan.(*)

Oleh Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008