Yogyakarta (ANTARA News) - Keputusan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-11 Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berlangsung di Dakar, Senegal, 12-15 Maret 2008, dinilai sulit dilaksanakan dan tidak memiliki greget untuk diimplementasikan. "Contohnya, desakan berdirinya negara Palestina tidak bisa terlaksana dengan mudah, terkait dengan politik hegemoni Amerika Serikat (AS) dan negara Barat," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin di Yogyakarta, Minggu. Menurut dia, sebenarnya KTT tersebut memiliki nilai strategis untuk merumuskan sikap OKI sebagai organisasi internasional terbesar yang beranggotakan 57 negara berdaulat, terhadap masalah dunia seperti Palestina, Irak, Afganistan, ketegangan dunia setelah peristiwa 11 September 2001, serta perang terorisme AS dan sekutunya. "Peristiwa tersebut telah menimbulkan `Islam phobia` sehingga KTT OKI tepat waktunya untuk membahas masalah itu," katanya. Ia mengatakan jika tidak ada "political will" dari OKI dan tekad untuk mendesak pelaksanaan keputusan itu, masalah yang ada masih sulit diatasi. "Untuk itu keputusan harus disertai dengan sikap politik masing-masing negara anggota yang tegas terhadap negara adikuasa dalam bidang lain," katanya. Ia mengatakan selama negara Islam masih di bawah pengaruh AS dan sekutunya, keputusan OKI sulit untuk dilaksanakan. "Karena itu, mereka harus betul-betul konsisten dan berani berkata tidak kepada AS dan negara barat seperti yang dilakukan Presiden pertama RI Soekarno," katanya. Menyinggung tentang Indonesia, ia mengatakan, sebenarnya bisa berperan sebagai negara Islam terbesar, tetapi posisi tawar Indonesia lemah dan cenderung menjadi `anak manis` AS sehingga sulit untuk berkata tidak. "Saya ragu Indonesia bisa mempelopori sikap tegas OKI. Padahal Indonesia punya modal sosial dan sumber daya alam yang besar. Tapi modal itu tidak bisa diaktualisasikan secara baik," katanya. Mengenai kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke sejumlah negara di Timur Tengah, Din mengatakan selalu ada manfaatnya terutama dalam hubungan bilateral dan kerjasama di bidang ekonomi.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008