Jakarta (ANTARA News) - Penurunan harga komoditas secara permanen harus menunggu pulihnya pasar finansial global saat investor mulai mengalihkan inevstasinya dari produk komoditas, seperti emas, minyak, dan bahan makanan. "Dalam enam bulan terakhir, harga saham anjlok dan harga komoditas naik. Itu bukan karena keterbatasan pasokan atau kenaikan permintaan, tetapi karena investornya pindah dari aset portofolio dan surat utang ke komoditas," kata ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, di Jakarta, Selasa. Ditambahkannya, saat ini harga komoditas memang tengah turun, meskipun belum bisa dipastikan apakah tren tersebut akan terus berlanjut mengingat kondisi yang fluktuatif. "Di pasar berjangka (future-red), harga minyak pada triwulan IV/2008 memang diperkirakan turun menjadi sekitar 83-85 dolar AS per barel," katanya. Sedangkan untuk komoditas lainnya, ujar Fauzi, pasar harus memperhatikan apakah paket kebijakan penyelamatan yang dijalankan The Federal Reserve Bank of AS dan pemerintah AS memberi hasil yang optimal pada perekonomian AS. "Sumber masalah ini kan di AS. Karena `subprime`, harga saham anjlok, nilai dolar AS anjlok, dan harga komoditas naik. Para investor belum bisa mengidentifikasi kapan situasi ini akan selesai. Memang kerugian sementara mencapai lebih dari 200 miliar dolar AS, tetapi portofolio kredit subprime tercatat sebesar 1,3 triliun dolar AS," ujarnya. Sementara itu, Bank Dunia melihat momentum tingginya harga komoditas dunia saat ini sebagai berkah bagi pemerintah Indonesia, meskipun belum tentu dinikmati oleh masyarakat miskin perkotaan. "Sulit memprediksi kapan harga komoditas akan turun, tapi kemungkinan akan bertahan pada level saat ini pada jangka waktu yang panjang. Harga minyak akan turun pelan-pelan, tapi tetap tinggi dibanding tahun lalu. Dan Indonesia seharusnya menikmati kenaikan itu karena Indonesia adalah `net exporter` produk-produk tersebut," ujar Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim von Amsberg. Meskipun menjadi net importer untuk produk minyak bumi, kedelai, beras dan jagung, tambahnya, secara keseluruhan Indonesia masih menikmati keuntungan dari tingginya harga komoditas. "Tetapi ini tidak dinikmati oleh masyarakat miskin kota sehingga mereka butuh perlindungan," katanya. Dia menyarankan, pemerintah jangan memfokuskan diri untuk menjaga harga agar terjangkau masyarakat miskin karena hal itu malah akan menguntungkan mereka yang membeli produk komoditas dalam jumlah besar. "Sebaiknya pikirkan instrumen program yang difokuskan pada masyarakat miskin," tambahnya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008