Kendari (ANTARA) - Dekan Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari, Prof Dr Ir M Tufaila Hemon berpendapat Indonesia akan mampu menguasai ekonomi global melalui minyak sawit karena komoditas ini dapat menggantikan peran minyak bumi atau bahan bakar fosil.

"Kelapa sawit sangat strategis karena dapat digunakan sebagai pengganti minyak bumi, sudah ada teknologinya. Kemungkinan nanti bisa diubah menjadi bahan bakar kendaraan seperti premium dan lainnya, maka ketergantungan pada minyak bumi nanti akan berkurang, harga diri bangsa akan semakin tinggi dan akan disegani oleh negara-negara lain," kata Tufaila Hemon, di Kendari Senin.

Ia menjelaskan saat ini cadangan minyak dunia yang berasal dari fosil sudah semakin menipis, sementara fosil tidak dapat diperbaharui, maka akan terjadi perang perebutan minyak nantinya.

"Kalau cadangan minyak sudah habis maka akan perang perebutan sumber daya alam, jadi kalau minyak bumi sudah habis, satu-satunya negara yang menyimpan stok minyak yang dapat diperbaharui dalam jumlah yang banyak hanya Indonesia dan Malaysia lewat minyak kelapa sawit," katanya.

Menurutnya, dengan luas lahan sawit yang dimiliki Indonesia seluas 15 juta hektare, merupakan modal bagi Indonesia menguasai ekonomi dunia nantinya.

"Kalau itu terjadi berarti yang mengendalikan dunia adalah Indonesia dan Malaysia, karena sudah memiliki kemampuan untuk merubah minyak sawit menjadi pengganti minyak dari fosil yang bisa digunakan bagi kendaraan," jelasnya.

Selain itu, lanjut Tufaila Hemon, nilai ekonomis kelapa sawit tidak hanya terletak pada buahnya saja, hasil samping dari pengolahan buah itu dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, biogas, arang aktif, serta sebagai pembangkit listrik.

"Kelapa sawit adalah aset bagi bangsa Indonesia yang perlu dijaga bersama, maka perlu sinergitas baik itu petani sendiri, perusahaan kelapa sawit, pemerintah termasuk perguruan tinggi, agar tercipta keharmonisan perkebunan kelapa sawit, sehingga dapat menyejahterakan masyarakat," jelasnya.

Menurutnya, jika saat ini sawit di Sulawesi Tenggara harganya rendah, itu karena masih tahap awal, jumlahnya juga terbatas, kalau masih kurang itu masih proses, namun ke depannya semua aspek harus diperbaiki.

Dia menekankan agar kelapa sawit harus dijaga, karena luasnya 15 juta hektare. Hal itu sudah menyangkut kestabilan negara, termasuk harga diri Indonesia. Jika kelapa sawit diganggu, maka kestabilan perekonomian Indonesia akan terganggu karena pendapatan devisa negara dari sawit terkena dampaknya.

"Maka produksinya harus ditingkatkan, namun harus patuh terhadap budidaya yang baik, mulai dari pemupukan, pemeliharaan, seleksi bibit, teknik budidaya panennya, sampai pasca panen dan pembibitannya secara keseluruhan diperbaiki, agar produksi kelapa sawit bisa meningkat," katanya.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, luas wilayah perkebunan kelapa sawit di Indonesia yaitu 14.677.560 hektare, tersebar di 27 provinsi. Perkebunan kelapa sawit terluas terletak di Provinsi Riau yaitu 2.806.349 hektare.

Selanjutnya di Provinsi Sumatera Utara yaitu 1.773.049 ha, ketiga di Kalimantan Barat seluas 1.570.675 hektare. Sementara di Sulawesi Tenggara sendiri hanya seluas 74.900 hektare yang terletak di Kabupaten Konawe Utara, Konawe dan Konawe Selatan.

Baca juga: Kemendag tengarai Eropa bangun strategi serang produk sawit RI
Baca juga: Pencekalan CPO harus dijawab pelaku industri kelapa sawit Indonesia
Baca juga: RI tekankan sawit berkelanjutan di pertemuan negara penghasil CPO

Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019