Samarinda (ANTARA News) - Sertifikasi ekolabel, yang kini sedang terus dikampanyekan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), bukan lahir karena desakan luar negeri, melainkan sebuah kebutuhan bagi upaya pengelolaan hutan dengan cara baik dan lestari. "Sertifikat ekolabel bagi unit manajemen pengelola hutan dan verifikasi kayu adalah sebuah kebutuhan, baik di dalam maupun di luar negeri," kata Dr Agus Setyarso, anggota (konstituen) LEI dari unsur akademik, sekaligus Ketua Komisi Pengarah Tim Kerja Standar Verifikasi Legalitas Kayu di Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu. Ia mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan Muklis, wakil dari unsur perusahaan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) pada Seminar dan Konsultasi Publik bertema "Standar Legalitas Kayu: Menjamin Legalitas Produk Kayu dari Indonesia" yang diadakan LEI dengan "Center for Social Forestry" (CSF) Universitas Mulawarman. LEI adalah organisasi berbasis konstituen yang mempunyai misi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia. Sistem sertifikasi LEI yang ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan memberi perhatian kepada kelestarian ini akan menjamin terjaganya fungsi ekologis dan sosial hutan. Secara ekonomis aturan ini akan memberi koreksi pada fungsi produksi yang berdampak pada pengurangan volume produksi. Pada kesempatan diskusi, Muklis menanyakan apakah skema sertifikasi ekolabel yang memakan waktu lama itu hanya karena desakan luar negeri, khususnya pasar di negara barat, yang mempersyaratkan secara ketat bahwa kayu-kayu dari negara pemasok, termasuk Indonesia, diperoleh dengan cara yang legal dan baik. Sebagai pebisnis di bidang kehutanan, kata Muklis, pihaknya ingin mengetahui nilai lebih apa yang dapat diperoleh bila mengikuti skema ekolabel. "Apakah ada jaminan bahwa setelah mendapat sertifikat ekolabel, maka ada harga yang lebih baik dibandingkan bila tidak mengikutinya," katanya. Atas pertanyaan itu, Agus Setyarso --yang juga staf pengajar Fakultas Kehutanan di Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta-- menjelaskan bahwa ada yang disebut dengan "premium price" yang bisa diperoleh unit manajemen HPH, baik yang dikelola pebisnis maupun masyarakat. "Dibandingkan kayu biasa, kayu bersertifikasi ini lebih mahal 30 persen, dan kelebihan harga itu disebut `premium price`," katanya. Ia menjelaskan bahwa skema sertifikasi itu juga dimaksudkan bagi tertibnya lalu-lintas kayu di dalam negeri, dan instrumennya adalah melalui verifikasi legalitas kayu tersebut. Melalui program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) pada hutan yang dikelola masyarakat adat di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah, masyarakat di beberapa desa bisa memenuhi pesanan pasar luar negeri yakni mengirimkan sebanyak dua kontainer (kurang lebih 100 meter kubik), dan bisa mendapatkan penghasilan senilai Rp350 juta tiap desa. Sementara itu, Manajer Komunikasi LEI, Indra Setia Dewi mengemukakan, skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti itu kini juga dilakukan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang merupakan tempat tinggal suatu komunitas adat Kampung Sungai Utik. Ia menjelaskan, tekanan sosial, politik, dan ekonomi terhadap kawasan hutan yang dihuni oleh komunitas adat tersebut cukup besar karena terletak di atas kawasan hutan produksi pada perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, dimana di sepanjang wilayah perbatasan tersebut pemerintah daerah berencana menjadikan kawasan perkebunan sawit seluas satu juta hektar. Komunitas adat Kampung Sungai Utik telah berhasil melestarikan kawasan hutan seluas 9.452,5 ha secara turun temurun, walaupun potensi hasil hutan kayunya tidak kalah dengan potensi hasil hutan kawasan konsesi, sebab jenis-jenis kayu yang tumbuh di kawasan itu juga merupakan jenis-jenis komersial seperti Meranti, Ramin, Kempas, dan lain-lain.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008