Jakarta (ANTARA News) - Siang itu, Kamal Nassir (42), dengan bersemangat mulai duduk di kursi belakang supir, sambil memangku tumpukan majalah. Minibus Hyundai yang membawanya mulai membelah Kabul, masuk ke jalan-jalan yang ramai lalu-lalang orang, kadang berpapasan dengan satu atau dua mobil. "Bisakah kau belok saja, di depan sana ada polisi," kata Nassir, yang jabatannya adalah manajer distribusi Killid Media. Dia bukanlah penyebar penerbitan gelap; majalah dwimingguan Killid dan Mursal yang dibawa adalah media resmi, tapi Nassir ingin menghindari "hal-hal yang tidak perlu". Di persimpangan lain seorang polisi menyapa sopan, "terbitan baru ya? aku pembaca setia", maka satu eksemplar Killid berpindah tangan secara gratis. "Afghan Chronicles" (2007) selanjutnya membawa kita menemani pendistribusian dua majalah itu ke kios-kios koran, toko kelontong, serta loper. Dokumenter karya Dominic Morissette itu lalu menggali lebih dalam kehidupan di Kabul, salah satunya lewat loper bernama Jawed. Bekas tentara tersebut berjalan kaki menyusuri Kabul untuk menawarkan majalah. Di Afghanistan, menjajakan berarti bersosialisasi, mengobrol panjang lebar dengan para calon pembeli. "Beri aku harga murah, aku hanya seorang tentara,gajiku kecil sekali," kata seorang berseragam saat penjual dan calon pembelinya "mengobrol" di pinggir jalan. "Akupun bekas tentara. Kalau kuberi kau harga murah, aku tidak tahu akan makan apa keluargaku," kata Jawed. Keduanya pun terdiam sejenak. Setiap dialog menjadi penggalian atmosfer kehidupan di Kabul dan film dokumenter berdurasi 52:33 menit itu membawa penonton merasakan apa yang dirasakan setiap orang, cukup dengan sosok-sosok yang terkait dengan majalah Killid dan Mursal. Tanpa cuplikan gambar senjata, bom, atau kekerasan, lainnya, "Afghan Chronicles" melukiskan atmosfer luka perang, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, tapi juga harapan. Kota yang pernah berpenduduk tiga juta warga itu kini tinggal berisi 300 ribu jiwa, meski orang-orang di pengungsian Pakistan, seperti Nassir, telah kembali seiring tumbangnya Taliban pada tahun 2001. Pemilihan presiden pada tahun 2005 disusul pemilihan parlemen pada tahun 2006 adalah tanda dari bangkitnya demokrasi. Killid Media pun berdiri dengan dua majalahnya dan satu stasiun radio, meski saat itu 2/3 penduduk Kabul tidak kenal majalah. Para pendiri Killid ("kunci" dalam bahasa Persia) bercita-cita medianya menjadi sumber informasi, edukasi, dan pemberantas buta huruf dengan isi yang populer, lewat dua bahasa resmi Afghanistan, Dari dan Pashto. "Saya ingin menampilkan bahwa Afghanistan bukan hanya Burqa (pakaian tertutup untuk perempuan), opium, atau perang. Ada kalangan menengah seperti jurnalis, dan dokumenter ini menggambarkan keseharian mereka," kata Morissette, saat pemutaran filmnya tersebut baru-baru ini di Jakarta. Sumber Informasi Morissette, yang juga bertindak sebagai periset, penulis, sekaligus penata suara dokumenter itu, memerlukan 50 jam rekaman video serta sembilan bulan proses edit untuk menyelesaikan karyanya. Dokumenter dengan pengambilan gambar video digital itu awalnya menggambarkan semangat dan harapan yang mulai tumbuh (2005), namun enam bulan kemudian (2006) suasana telah diselimuti kekhawatiran seiring ketidakpastian di Afghanistan. Kebebasan barat seiring demokratisasi ternyata bertabrakan dengan nilai setempat, dan Killid maupun Mursal harus "meniti buih" agar tetap bisa menjalankan tugasnya sebagai agen perubahan. Masukan dari pembaca diterima Nassir saat mendistribusikan dua majalahnya di suatu toko kelontong. Sang pemilik toko mengeluhkan foto-foto yang tidak sesuai "tradisi" sama seperti kekhawatirannya terhadap pemudi yang kini bisa tertawa keras di luar rumah dan mengganti baju muslim dengan celana jeans. "Mereka bilang ini demokrasi, seolah tradisi dan budaya yang sudah turun-temurun tidak ada artinya lagi," keluh si pemilik toko. Sementara itu Marzia Monsif dan Hafiza Rahim, wartawati majalah Mursal, harus berhadapan dengan adat istiadat yang melarang kaum hawa diambil gambarnya. Mursal, yang ditujukan untuk kaum hawa itu, lebih banyak menampilkan penyuluhan dalam bentuk cerita foto. Monsif maupun Rahim bertindak sebagai sutradara sedangkan para model di cerita foto tersebut adalah staf Killid. Saat mengunjungi sebuah Puskesmas khusus perempuan, mereka terpaksa keluar lagi karena semua orang menolak diambil gambarnya. Suasana yang berubah mencekam juga dirasakan oleh Morissette yang awalnya tidak mengalami kesulitan sebagai orang asing tetapi saat datang ke Afghanistan selang enam bulan kemudian merasakan tidak lagi bebas menelusuri Kabul. " Pemandu kami sangat sering memberi kode untuk menyudahi pengambilan gambar dan segera pergi," kata Morissette yang wajah dan pembawaannya mengingatkan kepada sineas komedi asal Italia, Roberto Benigni. Dia pun tidak putus akal, di tempat-tempat ramai dia menjadi pengalih perhatian dengan menjauhkan diri dari pengambilan gambar. Saat orang-orang mengamatinya, juru kamera merekam dialog-dialog sesama warga Afghanistan. Kebutuhan Terpenuhi Morissette mengaku tidak mendapatkan satupun gambar kekerasan selama berada di Kabul, tapi dia berhasil merekam pedihnya perang. "Afghan Chronicles" disisipi kesedihan dan kearifan Abdul Khafar, kakek renta yang mencari nafkah sebagai jurufoto jalanan "bersenjatakan" kamera sebesar koper, peninggalan abad 19. "Mimpi lahir dari kedamaian, kedamaian lahir dari kebutuhan yang terpenuhi, kebutuhan terpenuhi berkat persatuan sejati, dan persatuan sejati lahir dari keadilan," kata Khafar. Saat Morissette menemuinya kembali enam bulan kemudian, Khafar sudah berhenti bekerja tanpa tahu bagaimana memberi makan anak dan cucu-cucunya. Hal yang sama terjadi pada si wartawati penuh semangat, Monsif. Dia melepas pekerjaan jurnalisnya dan memilih untuk menemani anak Balitanya di rumah. Morissette lewat narasinya mengatakan bahwa Monsif tidak bersedia menjelaskan alasan melepas pekerjaan yang sebelumnya dia katakan sangat dia cintai itu. Sang sutradara hanya bisa menebak bahwa faktor keamanan adalah penyebab utama Monsif berhenti. "Saya cuma diundang ke rumah untuk bertemu seluruh anggota keluarga. Di Afghanistan, mengundang orang ke rumah, apalagi orang asing, adalah sangat luar biasa. Saya jadi sangat khawatir kepada dia dan keluarganya," kata Morissette saat dialog mengenai filmnya. Sebelum menggarap "Afghan Chronicles", Morissette sejak 2003 bolak-balik Kanada - Afghanistan untuk memberi pelatihan video kepada mahasiswa, jurnalis, dan aktivis LSM di Afghanistan. Sinematografer itu bersama sutradara Catherine Pappas meraih nominasi piala Jutra tahun 2003 untuk dokumenter "Les derniers chasseurs du petit havre". Di film itu Morissette juga mempertanyakan dana pembangunan kembali Afghanistan yang tidak banyak dirasakan masyarakat. Kritiknya ternyata beralasan; laporan Agency Coordinating Body For Afghan Relief (ACBAR) pada akhir Maret tahun ini menyatakan bahwa dari 15 miliar dolar dana bantuan, sekitar 40 persen kembali ke negara donor dalam bentuk keuntungan perusahaan dan honor konsultan. Laporan ACBAR berjudul "Falling Short" itu mengungkap bahwa bantuan internasional membiayai sekitar 90 persen anggaran pemerintah Afghanistan. Dana rekonstruksi internasional ternyata hanyalah "bagian kecil" dibanding anggaran militer. Tentara Amerika Serikat (AS) mengeluarkan sekitar 100 juta dolar setiap hari di Afghanistan sedangkan bantuan internasional dari semua donor hanya tujuh juta dolar sehari. "Afghan Chronicles" mengenalkan orang tentang Afghanistan yang resah akan masa depan mereka, sungguhpun pasukan internasional selalu mengatakan situasi semakin membaik. "Saya tidak tahu bagaimana perkembangan mereka sekarang, saya ingin kembali lagi ke sana," kata Morissette mengomentari filmnya. (*)

Oleh Oleh Aditia Maruli
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008