Oleh Diah Novianti Jakarta (ANTARA News) - Di perbatasan antara Lebak dan Pandeglang, kini Provinsi Banten, pada suatu pagi ada keramaian yang luar biasa. Beratus-ratus kuda berpelana menutup jalan, dan sekurang-kurangnya seribu orang, jumlah yang banyak untuk tempat itu, berjalan mondar-mandir sibuk menunggu. Tampak di sana kepala-kepala desa, kepala distrik daerah Lebak, masing-masing dengan pengiringnya, dan juga turut hadir seorang kepala daerah yang tinggi kedudukannya di tempat itu, Bupati Lebak, Raden Adipati. Mereka sedang menunggu seorang asisten residen yang baru, dan kelaziman yang di negeri Hindia yang mempunyai kekuatan hukum, lebih-lebih dari tempat lain, menghendaki bahwa pejabat yang bertugas memerintah suatu daerah, harus disambut secara meriah waktu ia datang di daerah itu. Penggalan cerita itu berasal dari novel Max Havelaar yang terkenal, menggambarkan keheranan pengarangnya, Multatuli alias Eduard Douwes Dekker, terhadap sambutan meriah penduduk Lebak, ketika ia baru datang ke tempat itu sebagai Asisten Residen pada 21 Januari 1856. Sementara itu, di Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu 9 April 2008, pada suatu siang ada keramaian luar biasa dari Jalan Wahidin, tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginap selama kunjungan dua harinya di kota itu, sampai ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pekalongan. Di sepanjang jalan terlihat murid-murid sekolah berjajar rapi, tertata apik. Mulai dari siswa sekolah dasar berseragam putih-merah, siswa sekolah menengah pertama yang berseragam putih-biru, sampai murid sekolah menengah atas berpakaian putih-abu-abu. Ratusan, sekurang-kurangnya, hingga sekira seribu siswa tersebut melambaikan bendera kertas merah putih berukuran kecil yang ditempelkan di sebatang lidi, bersorak sorai di sepanjang jalan yang dilintasi Presiden. Masyarakat sekitar bercampur baur dengan para siswa, melambai-lambaikan tangan kepada belasan kendaraan yang melintas pelan, kepada Presiden dan Ibu Negara yang membuka lebar kaca mobil BMW seri X5 yang ditumpanginya, kepada orang yang tinggi kedudukannya di Jawa Tengah, mulai dari Gubernur Jawa Tengah sampai Bupati Pekalongan. Setelah buntut iring-iringan kendaraan pejabat lewat di hadapan mereka, barisan murid sekolah itu pun bubar, berlarian menuju sepeda mereka masing-masing, bersegera dikejar hari yang semakin senja, pulang ke rumah masing-masing. Pemandangan serupa terlihat esok harinya, Kamis 10 April 2008, pukul 10.00 WIB, saat rombongan Presiden menuju Bandar Udara Internasional Ahmad Yani, Semarang, untuk kembali ke Jakarta setelah sempat menginap semalam di kota itu. Barisan murid berjajar di sepanjang jalan, diselingi orang dewasa yang terlihat seperti guru mereka, menjaga mereka untuk tetap rapi berdiri saat iring-iringan para pejabat negara melintas di depan mereka. Mereka, yang seharusnya berada di kelas untuk belajar pada pagi itu, melambaikan bendera kertas merah putih, persis seperti kawan-kawan mereka di Pekalongan. Barisan manusia yang berjejer rapi di kiri-kanan jalan yang dilintasi iring-iringan, seperti memagari sebuah lorong waktu, membawa kembali ke masa 152 tahun lalu, kepada suasana yang tergambar dalam novel Max Havelaar, ketika Douwes Dekker terheran-heran melihat masyarakat Lebak yang menyambutnya. Bukan fiksi Max Havelaar bukanlah fiksi semata. Novel itu bertutur tentang pengalaman pribadi Eduard Douwes Dekker saat bertugas sebagai Asisten Residen di Lebak, yang termasuk ke dalam wilayah Banten. Dekker tidak hanya bercerita soal kesengsaraan bumiputera di bawah kolonialisme Belanda. Dalam novel itu, ia gambarkan detil jalinan kekuasaan yang berlaku di Hindia Belanda. Di Hindia Belanda dulu ada daerah yang langsung takluk kepada Kerajaan Belanda, sehingga penduduknya pun mengakui Ratu/Raja Belanda sebagai ratu/rajanya. Namun, ada juga daerah yang pemerintahannya masih tetap dalam tangan kepala-kepala bumiputera sendiri yang mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda sebagai pelindung. Di daerah yang seperti itu, Gubernur Jenderal Hindia yang mewakili kekuasaan Kerajaan Belanda, menempatkan residen-residen sebagai pengawas pemerintahan, mendampingi seorang kepala bumiputera berpangkat tinggi dengan gelar bupati. Bupati, pada masa itu, semata-mata hanya pejabat bayaran yang diangkat oleh Belanda, dan selalu berasal dari golongan bangsawan tinggi, seringkali berkeluarga dengan raja-raja yang dulu memerintah sebagai penguasa merdeka di daerah itu. Dengan demikian, Belanda hanya menggunakan pengaruh feodal para bupati itu guna mendapatkan otoritas memerintah dari penduduk daerah setempat. "Keturunan atau keluarga raja-raja dahulu mempergunakan kebodohan penduduk yang tidak mengerti bahwa bupati sekarang ini hanya pegawai yang digaji, yang telah menjual hak-haknya sendiri dan hak-hak rakyat untuk penghasilan tertentu," tulis Dekker dalam Max Havelaar. Dari jalinan kekuasaan seperti itu, kemudian tersusun hirarki otoritas di Hindia Belanda, dari yang tertinggi Kerajaan Belanda, kemudian Gubernur Jenderal, dan terakhir kepala-kepala pribumi yang diangkat oleh Belanda. Berbicara tentang otoritas, sosiolog Max Weber memiliki teori untuk menjelaskan tiga hal cara penguasa memperoleh legitimasi dari mereka yang diperintah. Hal pertama, menurut Weber, adalah otoritas tradisional, rakyat terikat dengan penguasa oleh ketergantungan personal dan tradisi kesetiaan. Ketaatan rakyat kepada penguasa kemudian diperkuat oleh keyakinan-keyakinan kultural seperti hal-hak ilahi para raja. Tipe otoritas seperti itu mendominasi dunia pada zaman dahulu kala, sampai badai pencerahan melanda Benua Eropa pada abad pertengahan, dan masih ada sisanya di Hindia Belanda saat Dekker menulis novelnya. Otoritas jenis kedua dalam amatan Weber adalah otoritas kharismatis yang mendapatkan legitimasi kekuasaannya dari kemampuan atau ciri-ciri luar biasa, atau mungkin dari keyakinan pihak pengikut bahwa pemimpin itu memang mempunyai ciri-ciri seperti itu. Weber pun mencatat, adanya otoritas rasional-legal, yakni pemimpin memperoleh otoritasnya yang tertinggi dari peraturan hukum yang berlaku berdasarkan alasan rasional dari masyarakat yang diperintah. Weber, yang juga meneliti birokrasi sebagai cara manusia untuk merasionalkan alat dan tujuannya, percaya bahwa birokrasi yang efisien hanya dapat berkembang di bawah otoritas rasional-legal yang tidak lagi menaruh tempat pada pengkultusan individu. Penekanan pada hubungan impersonal tanpa emosi dalam birokrasi, mempunyai fungsi untuk menghindarkan masuknya faktor-faktor irasional dalam pengambilan keputusan resmi. Birokrasi Reformasi birokrasi sering digaungkan oleh pemerintah negeri ini pasca-berhentinya HM Soeharto sebagai Presiden RI periode 1966-1998 pada 21 Mei 1998 seiring upaya pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Oleh karena, birokrasi yang tidak beres dan bertele-tele di Indonesia dituding sebagai penyebab tidak pernah keluarnya Indonesia dari jajaran negara terkorup di dunia. Survei yang dilakukan lembaga Transparansi Internasional (TI) terhadap pelayanan publik di Indonesia yang merupakan hasil kerja mesin birokrasi, dari tahun ke tahun selalu menempatkan Indonesia dalam kelompok negara paling jago korupsi sedunia. Presiden sendiri telah berkali-kali menegaskan komitmennya untuk mereformasi birokrasi, menyadari bahwa urusan birokrasi yang tidak beres itu menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi dan membuat ngeri para investor untuk berurusan dengan pelayanan publik di Indonesia. Namun, sejarawan Onghokham memiliki catatan tersendiri soal kultur birokrasi Indonesia. Onghokham meneliti bahwa sistem birokrasi modern mulai diterapkan Belanda ketika maskapai perdagangan Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC (perserikatan perusahaan Hindia Timur), mengalami kebangkrutan dan korupsi merajalela di kalangan pegawainya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada saat itu, HW Daendels, melakukan reformasi besar-besaran dan menerapkan birokrasi modern pertama dengan cara menyusun hirarki pegawai dengan sistem penggajian. Belanda, sebagai penguasa koloni, berlaku seperti "pengasuh" yang ketat dalam sistem birokrasi itu dan menerapkan pengawasan sampai hal detil. Onghokham percaya bahwa pola birokrat kolonial Belanda dalam sistem birokrasi itu masih terasa pengaruhnya sampai hari ini, sehingga perilaku "Asal Bapak Senang" (ABS) dan kebiasaan tidak bekerja, jika tidak diawasi, masih merajalela. Belanda memang telah lama angkat kaki dari Indonesia, dan negara ini terus bergelut dalam upaya merasionalisasikan tujuannya. Setelah tenggelam dalam 32 tahun penguasaan otoriter, Indonesia kini berbenah diri, mendandani diri untuk menjadi negara modern dengan sistem demokrasi, penegakan hukum dan pembenahan birokrasi yang efisien. Demokrasi, hukum, dan birokrasi, yang menurut teori Weber, merupakan upaya rasionalisasi negara untuk menata diri, memang seharusnya menuntun suatu bangsa guna mencapai tujuannya. Namun, di tengah masyarakat yang terus dibiarkan irasional dan masih mengkultuskan individu, semua itu hanya menjadi pupur yang menutupi wajah sebenarnya. Demokrasi hanya menjadi sorak sorai keramaian, hukum bisa diatur, dan birokrasi pun macet. Apabila Douwes Dekker masih hidup hari ini, bisa jadi ia tentu masih terheran-heran, lantaran merasa deja vu --frasa Prancis yang secara harafiah adalah "pernah lihat"-- menyaksikan gegap gempita yang sama pada 1856 masih terjadi di suatu hari pada 2008. Masih bisa menyaksikan suatu bangsa yang tidak keluar dari peradaban yang telah usang. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008