Jakarta (ANTARA News) - Belum optimalnya data statistik perikanan yang berujung pada kesalahan pengelolaan, perencanaan pembangunan, dan kebijakan, yang mengakibatkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. "Salah perhitungan ini berefek domino terhadap kesalahan dalam pengelolaan, perencanaan pembangunan, dan kebijakan, pengkajian stock, dan terakhir terhadap penentuan peluang pengembangan perikanan," kata Direktur Sumber Daya Ikan Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Nilanto Perbowo, di Jakarta, Jumat. Dia mengatakan, tidak akuratnya data perikanan mempengaruhi perhitungan stok ikan, sehingga salah menentukan batas tangkapan Maksimum Berimbang Lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY). Data itu diperlukan juga untuk acuan perencanaan pembangunan perikanan, termasuk penanganan "Illegal Unregulated Unreported" (IUU) Fishing. Dari data FAO sendiri tercatat kerugian Indonesia akibat IUU Fishing diperkirakan mencapai Rp30 triliun per tahun. Selama ini, menurut dia, data perikanan didapat dari pencatatan transaksi di pelabuhan-pelabuhan pendaratan ikan dan desa sampel, sedangkan kontribusi data dari sektor industri dirasakan kurang. Ketidakakuratan data ditambah lagi akibat permasalahan di lapangan yakni banyaknya kegiatan penangkapan ilegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan, ujar dia. Transaksi sering terjadi justru di tengah laut, di mana tidak ada pihak yang memantau jumlah hasil tangkapan dan nilai transaksi. Sementara itu, Direktur Eksekutif Worl Wide Fund (WWF) Indonesia, Mubariq Ahmad, mengatakan bahwa program observer diyakini dapat menjadi satu strategi untuk memperoleh dan memverifikasi data perikanan dari tangan pertama. "Kita masih harus bekerja keras untuk mewujudkan pengelolaan dan pemanfaatan perikanan Indonesia yang lestari, banyak praktik ilegal yang terjadi khususnya pencurian ikan kita di tengah laut," ujar dia. Dia mengatakan, WWF sangat mendukung program observer demi memperkuat pendataan praktik perikanan tangkap. Ini juga menjadi prasyarat untuk menerapkan perikanan berkelanjutan, dan mengurangi "by-catch" atau tangkapan sampingan yang berpengaruh negatif terhadap biodiversitas lautan. "Hal ini penting untuk melindungi industri perikanan Indonesia dari ancaman embargo. Sebagai anggota RFMO (organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional) program observer merupakan mandat, sehingga Indonesia wajib melakukan agar tidak dikenai dari sanksi dari RFMO salah satunya pengurangan kuota tangkapan tuna bagi nelayan Indonesia," ujarnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008