Sanur, Bali (ANTARA News) - Cipratan cat jatuh membentuk gumpalan yang mengambang di air. Dua, tiga, atau empat warna lain menyusul dipercikkan.

Bagai awan tertiup angin, bundaran-bundaran di permukaan air itu mulai berubah. Sepotong kawat yang berfungsi sebagai kuas, perlahan membentuknya menjadi tangkai, daun dan bunga.

"Tanaman" yang terbentuk dengan sekejap itu lalu dipindahkan ke kertas, cukup dengan menempelkan lembaran ke permukaan tempat cat warna-warni tadi dipercikkan.

"Indah, seperti Picasso saja," kata seorang Jerman, dalam bahasa Inggris, kepada sang maestro asal Turki, Salih Elhan (72). Si Jerman menyamakan lukisan yang sedang dilihatnya dengan karya Pablo Picasso, pelukis terkenal dunia beraliran kubisme.

Salih Elhan, yang sedang mendemonstrasikan seni lukis Ebru, tersenyum mendengar pujian itu. Dia balik menyapa dalam bahasa Turki sebelum kembali berkonsentrasi dengan catnya. Dua turis asal Turki yang sedang berada di Sanur, Bali, menawarkan diri untuk menjadi penerjemahnya saat Elhan tampil.

Ebru, kata dalam bahasa Turki yang artinya "awan" atau "berawan", berasal dari kata "ebre", bahasa Asia Tengah, yang artinya bahan berbarik-barik atau kertas.

Seni tersebut bisa jadi berhulu di China karena suatu tulisan di zaman dinasti Tang di China (618-907 masehi) menyebut tentang proses mewarnai kertas lewat air dengan lima warna.

Jalan Sutra membuat seni tersebut menjalar ke Iran dan dinamai "Ebru". Seni lukis itu digunakan untuk mewarnai sampul naskah maupun kitab dan menyebar ke Anatolia, Turki bagian Asia.

Sejak pertengahan abad ke-15 Ebru dikenal sebagai seni Turki, yaitu membuat corak pada kertas.

Teknik Ebru pada masa awalnya adalah mencipratkan cat, yang mengandung empedu sapi, ke permukaan air yang sudah dicampur "kitre" (getah tragacanth). Kertas diletakkan ke permukaan cairan sehingga corak warna di permukaan cairan menempel ke kertas.

"Kelihatannya mudah, tapi untuk bisa harus tekun," kata Elhan yang sudah lebih dari 20 tahun menekuni seni lukis Ebru. Dia juga mampu melukis Ebru untuk keramik, kaca, dan kain.

Elhan sudah mendemonstrasikan dan berpameran Ebru sebanyak puluhan kali di berbagai belahan dunia. Dia telah melatih hampir seribu orang dari berbagai penjuru dunia yang datang untuk seni menekuni Ebru.

Kehadirannya di Sanur, Bali, selama lima hari pada pekan lalu untuk memeriahkan Festival Seni dan Budaya Asia Afrika yang diselenggarakan "Asia Africa Foundation".

"Seni ini seperti mencipta tarian," katanya tentang Ebru. Perkenalannya dengan Ebru terjadi tahun 1984 saat dia belajar langsung dari seniman besar Ebru, Fuat Bazar.

Seni tersebut, katanya, sempat terancam dilupakan orang sehingga dia bersama beberapa seniman terus melestarikan dan menyebarkan seni Ebru. "Istri dan anak-anak pun menekuni Ebru," kata pria berputra tiga orang itu. Dia telah menulis lima buku tentang Ebru yang semua terbit di Turki.

Satunya lukisannya selesai dalam waktu lima 10 menit. Kertas yang sudah ditempelkan ke permukaan air lalu dijemur supaya kering. Dalam waktu dua jam, lahirlah sekitar 20 lukisan Ebru.

Pengunjung festival yang sebagian wisatawan asing tidak ragu mengeluarkan Rp100 ribu atau 10 dolar AS untuk lukisan itu. "Kalau sedang demonstrasi di Eropa, saya jual 15 euro," kata Elhan. Setiap lukisannya dibubuhi tanda tangannya.

Ketika tidak melakukan eksibisi, Elhan mengunjungi galeri dan toko-toko peralatan lukis di Bali.

Kaca
Jika Salih Elhan menarik perhatian pengunjung lewat bermain dengan air, maka Sumbar Priyanto Sunu (48) menampilkan lukisan kaca.

Seniman lukisan kaca asal Cirebon, Jawa Barat, tersebut lebih dikenal dengan nama Toto Sunu. Dia telah mengikuti puluhan pameran bersama maupun tunggal.

Dalam festival seni dan budaya Asia-Afrika tersebut, Toto memamerkan 25 lukisannya yang dibuat dalam setahun terakhir. "Ini pinjam dari para kolektor, mereka bersedia," kata pria berambut panjang tersebut.

Toto, yang memulai karyanya dengan lukisan natural, menyebut lukisan-lukisan yang dipamerkan itu bergaya kelirumologi. "Kata orang lho," ucap Toto.

Lukisan akrilik yang dia pamerkan rata-rata berukuran 2m x 1,2m. suasananya komunal, minimal bergambar dua orang.

Setiap kepala orang ukurannya tidak proporsional; selalu lebih kecil dari badannya. Lengan, kaki, dan bagian tubuh setiap orang dalam lukisan-lukisannya hampir bundar.

"Itu untuk menggambarkan bahwa orang itu subur. Kalau subur kan semua bagian tubuh membesar kecuali kepala," katanya.

Gara-gara senang mengambar badan "bulat", pernah pada suatu pameran, dirinya "diimbau" tidak ikut karena panitia khawatir lukisan Toto akan membuat tersinggung pejabat tinggi yang hadir.

Menurut Toto, dirinya cenderung melukis. Setiap orang dilukis dengan bibir tersenyum. "Belum terpikir menggambar orang yang berduka," katanya.

Tapi, dalam festival tersebut Toto tidak menujukkan kebolehannya melukis.

Dia biasa menggunakan cat minyak jika sedang berdemonstrasi, misalnya saat melukis Susilo Bambang Yudhoyono di Cirebon tahun 2005. Toto melukis dengan mata tertutup, disaksikan langsung oleh sang objek.

Peserta lainnya dalam festival tersebut adalah Sorowako Painting Club (SPC). Istimewanya, mereka bukan pelukis "full time".

"Kami mengajak SPC berpameran karena mereka unik, sebagian besar adalah karyawan pertambangan di Sorowako yang membentuk komunitas pelukis," kata Ari Satoto, event director Asia-Africa Art & Culture Festival.

SPC didirikan pada Maret 2005 oleh Didik Fotunadi, seorang manajer di pertambangan di Sorowako yang hobi melukis. Dia membuat komunitas melukis hingga kemudian lahir SPC dan mereka berpameran pertama kali dalam "Sorowako in Pictures" tahun 2007.

"Ada 15 orang yang aktif di SPC, mulai dari karyawan pertambangan, perusahaan supporting pertambangan, bahkan ibu rumah tangga," kata Rohman Yuliawan dari SPC.

Mereka berkumpul setiap akhir pekan untuk melukis bersama. Ada yang menggunakan cat minyak maupun akrilik.

Selain melukis secara rutin sepekan sekali, mereka juga memberikan pelatihan bagi pelukis pemula, diskusi seni rupa, hingga pameran.

"Ada delapan sesi tentang dasar-dasar melukis, mulai dari pencahayaan, komposisi, dan mencampur warna," kata Rohman yang sehari-hari bekerja di unit supporting pertambangan.

Menurut Rohman, dasar pengajaran melukis di SPC adalah naturalis dan selanjutnya terserah pada kecenderungan masing-masing.

"Lukisan saya ini contohnya, agak surrealis. Inspirasinya dari satu warung sop konro di Sorowako. Penjualnya bilang setiap hari menghabiskan satu sapi. Saya pikir, banyak sekali warung sop konro, jadi setiap hari berapa dijagal sapi untuk konro," kata Rohman menunjuk karyanya yang berlatar belakang merah dengan gambar sapi dan mangkuk.

Setiap kali berpameran, SPC mengadakan workshop melukis maupun mengundang kurator terkenal.

"Dan kami terus mengolah rasa, sekaligus mempromosikan Sorowako," kata Rohman. Dia juga mengatakan, SPC punya pendirian bahwa karya senirupa tidak ditentukan oleh asal latar sosial atau jabatan si pelukis. Karya lahir dari proses mencari dan belajar intensif, kreatif, dan tanpa henti. (*)

Oleh Aditia Maruli
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009