Bojonegoro (ANTARA News) - Kasiyem (55) asal Desa Kalianyar, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, Jawa Timur, adalah pedagang beras yang sering mengirimkan beras ke Bali.

Ia tertarik berdagang pupuk, karena berharap keuntungan lebih besar dibanding jika hanya menjual beras.

Dari berita di media massa, menurut dia, Bupati Bojonegoro Suyoto pernah menyatakan, pupuk luar boleh masuk ke Bojonegoro dan yang dilarang adalah membawa keluar pupuk dari Bojonegoro.

Saat terjadi kelangkaan pupuk, ia memanfaatkan kesempatan meskipun mengaku tidak memiliki Delivery Order (DO).

"Saya ini membeli pupuk dengan uang hasil utangan, tidak mencuri," kata Kasiyem, dalam perbincangan dengan ANTARA di Lapas Bojonegoro, Selasa.

Menurut pengakuannya, pada tahun 2009 itu dirinya membeli berbagai macam jenis pupuk mulai Urea, ZK, juga pupuk produksi Kaltim di Bali. Ini karena secara rutin kendaraannya mengirimkan beras ke Bali.

Saat berdagang pupuk Kasiyem mengaku sudah keluar sedikit-dikitnya Rp100 juta. Dagang pupuk itu pun menyeretnya ke pengadilan pidana hingga ke tingkat kasasi.

Mahkamah Agung menetapkan Kasiyem, harus menjalani hukuman penjara tiga bulan 15 hari.

Menurut seorang petugas di Lapas Bojonegoro, Kasiyem menghadapi dua kasus, satu kasus lainnya diputus MA, juga dengan hukuman penjara tiga bulan 15 hari dengan masa percobaan.

"Seingat saya ada lima truk pupuk yang saya datangkan ke Bojonegoro dan semuanya ditangkap polisi," kata Kasiyem.

Menghadapi masalah itu, Kasiyem mengeluhkan permasalahannya tersebut ke berbagai pihak tak terkecuali disampaikan dalam dialog Jumat di Pendopo Pemkab Bojonegoro.

Bupati Bojonegoro, Suyoto, dirinya tahu kasus Kasiyem dalam masalah pupuk tersebut sejak awal.

"Karena ketika itu pupuk langka, saya membantu yang bersangkutan dengan mendatangi ke kejaksaan, meminta pupuknya dikembalikan," jelas Suyoto.

Hukuman Penjara
Menghadapi keputusan MA itu, Kasiyem mengaku, tidak terima dan takut kalau harus menjalani hukuman penjara. Dia bilang pedagang pupuk seperti dirinya cukup banyak di Bojonegoro tapi hanya dia yang masuk penjara.

Lalu dicarilah seseorang yang bisa membantunya. Kasiyem akhirnya bertemulah dengan seorang pengacara bernama Hasnomo.

Kasiyem mengungkap, dalam perjanjian itu, Hasnomo sanggup menolong dirinya agar tidak masuk penjara dengan memberi imbalan uang Rp22 juta."Bagaimana caranya saya tidak tahu," ujarnya.

Diri mengaku menandatangani berita acara eksekusi di Kantor Kejaksaan Negeri Bojonegoro, tepatnya pada tanggal 27 Desember 2010.

Hanya saja, ketika di depan lapas, dirinya yang semobil dengan staf Kejari bojonegoro, Widodo Priyono, tidak masuk ke lapas. Sebab, Hasnomo sudah membawa joki napi Karni (51), warga Desa Leran, Kecamatan Kalitidu, yang memperoleh imbalan uang Rp10 juta dari Hasnomo.

Hasnomo menemukan Karni lewat seorang perantara yang bernama Angga."Saya tahu itu keliru," ucapnya.

Karnipun masuk sel di lapas, setelah menjalani registrasi, dengan cap jempol, buan tanda tangan.

Masuknya joki napi Karni tersebut, terungkap pada tanggal 31 Desember 2010, ketika ada seseorang yang menjenguk dan mengetahui Karni ternyata bukan Kasiyem.

Menanggapi kasus itu, Bupati Bojonegoro, Suyoto menyatakan, di dalam kasus joki napi tersebut, bukanlah merupakan kasus mafia hukum besar sebagaimana yang dibayangkan kebanyakan orang.

Masalah itu muncul, hanya karena keluguan Kasiyem yang takut dipenjara dan Karni yang terbentur kesulitan ekonomi.

"Baik Kasiyem dan Karni semuanya lugu, orang yang tidak tahu tentang seluk beluk mafia hukum," katanya menjelaskan.

Yang jelas, sebagaimana diungkapkan Kepala Divisi Pemasyaratan Kanwil Kementerian Hukum Jawa Timur, Djoko Hikmahadi, kejadian munculnya kasus joki napi di Lapas Bojonegoro, bisa menjadi pembelajaran bagi berbagai pihak terkait di bidang hukum.

"Ini modus baru, selama 20 tahun bertugas, belum pernah saya temui ada kasus joki napi," katanya ketika di Bojonegoro.

Pembenahan yang perlu dilakukan, menurut dia, yakni, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lapas, sedikitnya harus tahu sejak awal proses penanganan kasus dan orang yang terlibat harus dilengkapi dengan foto dan identitas lainnya.
(KR-SAS/D009/A038)

Oleh Slamet A Sudarmojo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011