...puluhan atau bahkan ratusan konstruksi jembatan, plengseng, tanggul, serta beberapa kantor pengamatan kami dalam bahaya karena erosi pada dasar sungai,"
Tulungagung (ANTARA News) - Degradasi luar biasa yang terjadi pada penampang dasar Sungai Brantas selama satu dasawarsa terakhir, secara perlahan telah memicu kekhawatiran akan efek domino kerusakan lingkungan mulai dari kawasan hulu hingga hilir.

Laporan resmi maupun pernyataan lisan yang disampaikan Perum Jasa Tirta selaku penanggung jawab pengelolaan air dan sumber air sungai terpanjang di Jatim itu, selama dua tahun terakhir benar-benar mencengangkan publik.

Pada tahun 2004, perusahaan umum milik negara ini menyebut penurunan penampang dasar Sungai Brantas sudah saat itu tercatat baru mencapai kisaran 3-4 meter.

Biang kerok penurunan dasar sungai ini kemudian "diarahkan" ke para penambang pasir liar yang ada di sepanjang Sungai Brantas mulai dari Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, hingga Mojokerto.

Beberapa upaya penertiban memang pernah dilakukan oleh masing-masing pemerintah daerah. Namun jumlah pemburu pasir ilegal itu malah bertambah banyak.

Alat atau sarana penambangan yang mereka gunakan juga mengalami modernisasi sejak munculnya beberapa penambang besar yang mengadopsi mesin penyedot pasir bertenaga diesel.

Tren modernisasi ini menular secara cepat dan masif ke kalangan penambang lain yang ada di sepanjang aliran sungai terbesar dan terpanjang di Provinsi Jawa Timur itu maupun di kawasan/daerah aliran sungai (DAS) Brantas.

Akibatnya sungguh mengerikan. Eksploitasi besar-besaran material pasir ini menyebabkan keseimbangan lingkungan di sepanjang aliran sungai terganggu. Penampang dasar sungai yang dulu, sekitar tahun 1991, hanya tercatat sedalam 3-4 meter, kini turun drastis hingga belasan meter.

Tahun 2000 kedalaman sungai di sejumlah titik konsentrasi gerusan pasir disebut-sebut telah mencapai 6-7 meter. Kondisi tersebut semakin parah dari tahun ke tahun, terutama sejak beroperasinya alat tambang mekanik yang menggunakan mesin diesel berkapasitas besar.

Berdasar estimasi yang dilakukan Perum Jasa Tirta, volume pasir yang dikeruk dengan cara manual dan mekanik pertahunnya bisa mencapai kisaran 2 juta meter kubik lebih.

Angka ini jauh melebihi ambang batas toleransi pengambilan pasir di sepanjang aliran Sungai Brantas yang hanya 450 ribu meter kubik/tahun.

"Secara pasti kami tidak bisa menghitung, hanya perkiraan dengan asumsi jumlah penambang pasir mekanik yang mencapai ribuan unit dan tersebar di sepanjang aliran Sungai Brantas," kata Kepala Sub Divisi Jasa ASA II/I Wilayah Tulungagung-Trenggalek, Mariyadi.

Penggerusan dasar sungai pada awalnya hanya terdeteksi di sepanjang aliran Sungai Brantas yang berada antara Kabupaten Kediri hingga Mojokerto.

Namun, seiring kian bertambahnya aktivitas penambangan pasir ilegal di wilayah hilir yang tidak diimbangi ketersediaan pasokan pasir dari wilayah hulu, erosi pada bagian penampang dasar sungai kian parah.

Hasil penelitian yang dilakukan Perum Jasa Tirta Divisi Jasa Air dan Sumber Air (ASA) I/II Tulungagung-Trenggalek menunjukkan, akibat maraknya penambangan pasir di sepanjang aliran sungai, dasar Sungai Brantas turun sampai kisaran 8 meter pada tahun 2006 dan bertambah menjadi 12 meter pada tahun 2009.

Penurunan dasar sungai itu kini hampir merata di sepanjang aliran Sungai Brantas mulai dari Bendungan Lodoyo di Kabupaten Blitar hingga Bendungan Lengkong di Kabupaten Mojokerto.

"Arus sungai yang deras menyebabkan proses penggerusan cenderung merata. Tidak hanya di wilayah yang menjadi titik kosentrasi penambangan tetapi menyeluruh, bahkan hingga kawasan hulu seperti di Blitar dan Tulungagung," terangnya panjang lebar.

Penurunan atau degradasi pada penampang dasar Sungai Brantas memang tidak bisa dilihat secara langsung. Tetapi dampak yang ditimbulkan akibat degradasi tersebut bisa diamati di hampir semua jalur sungai termasuk di kawasan DAS.

Salah satunya bisa dilihat pada jembatan Ngujang yang menjadi sarana penghubung jalan raya provinsi antara Kabupaten Tulungagung dengan Kabupaten Kediri serta Blitar.

Pada kaki jembatan besi yang dibangun sejak zaman penjajahan Belanda ini, rangka fondasi terlihat jelas. "telapak" pada kaki penyangga jembatan legendaris ini kadangkala bahkan tampak menggantung saat debit air menurun.

"Istilah kami, ini dampak penurunan `river bed` (dasar sungai) yang kemudian menyebabkan puluhan atau bahkan ratusan konstruksi jembatan, plengseng, tanggul, serta beberapa kantor pengamatan kami dalam bahaya karena erosi pada dasar sungai," urai dia.

Gambaran dampak penambangan pasir yang memicu penurunan dasar sungai hingga melebihi batas kewajaran seperti yang disampaikan pihak Perum Jasa Tirta dalam berbagai kesempatan itu tidaklah berlebihan.

Pantauan ANTARA, hampir semua jembatan (lama) yang melintasi aliran sungai kondisinya nyaris menggantung. Fondasi jembatan yang seharusnya berada di dalam air dan tertanam di dasar sungai sebagian mulai muncul di atas permukaan.

Pemandangan ini terlihat di jembatan utama yang ada di Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar; jembatan Ngujang di Kecamatan Ngantru, Kabupaten Tulungagung; dua jembatan utama di Kota maupun Kabupate Kediri.

Sejumlah fasilitas umum yang rusak misalnya adalah jembatan Jeli di Desa Jeli, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Tulungagung (ambruk); Bendungan Waruturi di Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri (paku bangunan bendungan menggantung hingga 4 meter dari lokasi semula); serta kerusakan parah yang terjadi pada jembatan Mrican.

"Jembatan sepanjang 10 meter yang menghubungkan wilayah Kabupaten dan Kota Kediri itu pondasinya sempat amblas hingga tidak lagi bisa dilalui oleh kendaraan bermotor. Perlu satu tahun untuk memperbaiki kerusakan tersebut hingga akhirnya bisa difungsikan kembali," sumber ANTARA di Perum Jasa Tirta II, Kediri.

Dampak Lanjutan
Kerusakan ekologi akibat aktivitas penambangan pasir ternyata tidak hanya terjadi di sepanjang aliran/jalur utama Sungai Brantas, tetapi sudah merambat hingga kawasan DAS yang menjadi sub-aliran (anak sungai).

Konfirmasi mengenai penurunan dasar sungai di kawasan DAS ini tidak hanya disampaikan pihak Perum Jasa Tirta selaku pengelola resmi air dan sumber air Sungai Brantas, tetapi juga dilontarkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pecinta lingkungan.

Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Mangkubumi yang bermarkas di Kabupaten Tulungagung, misalnya, beberapa waktu lalu mempublikasikan hasil penelitian mereka bersama ECOTON yang menemukan adanya penurunan dasar sungai pada kawasan DAS hingga kisaran empat (4) meter.

Degradasi paling parah mereka temukan di kawasan hilir Sungai Ngrowo di Kabupaten Tulungagung yang bermuara ke Sungai Brantas. Beberapa penampang sungai bahkan telah bergeser akibat aliran sungai yang semakin deras serta "hilangnya" material pasir yang sebelumnya berfungsi sebagai penghambat gerakan air.

"Ini namanya kondisi debei air mengalami defisit sedimen sehingga memperparah erosi dasar sungai," kata Pejabat pembuat Komitmen di Balai Besar Wilayah Brantas Tulungagung, Bonari.

Koordinator Gardu Brantas Tulungagung, Mohammad Ichwan Mustofa memperingatkan kepada semua pihak, khususnya masing-masing pemerintah daerah yang berada di jalur perlintasan Sungai Brantas agar mewaspadai fenomena ini.

Sebab, apabila degradasi terus terjadi, kerusakan lingkungan maupun konstruksi bangunan di sepanjang aliran sungai utama serta DAS Brantas akan semakin parah.

Risikonya tentu akan lebih banyak mengancam pemukiman serta area persawahan. Sebab, jika sampai tanggul ataupun plengseng penahan air di sepanjang aliran Sungai Brantas maupun kawasan DAS jebol, banjir bisa melanda area padat penduduk maupun lahan-lahan pertanian.

Selain itu, kerusakan pada infrastruktur sungai juga bisa menyebabkan suplai air untuk persawahan terganggu.

"Ada sembilan (9) juta hektare lebih lahan pertanian yang selama ini bergantung pada suplai air dari Sungai Brantas

. Bisa dibayangkan bila ada jaringan irigasi rusak, produksi pertanian Jawa Timur secara keseluruhan bisa terganggu," kata Koordinator Gardu Brantas, M Ichwan Mustofa.

Tidak hanya "hilangnya" material pasir di dasar Sungai Brantas serta gangguan distribusi/suplai air ke persawahan penduduk yang dikhawatirkan para penggiat lingkungan seperti Ichwan Mustofa dan kawan-kawannya di PSLH Mangkubumi.

Mereka menyebut saat ini populasi biota air tawar di Sungai Brantas terancam punah. Salah satu jenis hewan yang mulai langka itu adalah kura-kura air tawar (bulus) yang dulu banyak bertebaran di sepanjang aliran sungai Brantas maupun kawasan DAS yang ada di bagian hulu.

Hasil riset mereka yang dilakukan menggunakan metode wawancara acak dengan warga di sekitar bantaran Sungai Brantas, selama kurun 5-10 tahun terakhir populasi bulus menurun drastis.

Sebagian besar warga bahkan menyebut sudah tidak pernah lagi mendapati adanya hewan ini menyembul di bantaran sungai. Penyebabnya memang bermacam-macam.

Selain faktor perburuan yang dilakukan manusia, hilangnya material pasir di bantaran sungai maupun dasar sungai membuat binatang ampibi sejenis penyu ini tak lagi memiliki tempat berkembang biak yang aman.

Penggiat lingkungan di Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Mangkubumi Tulungagung ini mengatakan, menurunnya populasi bulu tidak hanya terjadi di Tulungagung, tetapi hampir di sepanjang aliran sungai Brantas yang melintas di Kabupaten Blitar maupun Kediri.

Keberadaan binatang ampibi yang menyerupai penyu tetapi berukuran lebih kecil ini sementara masih terdeteksi di DAS Brantas yang membelah Kabupaten Jombang dan Mojokerto.

Selebihnya, hasil riset acak yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung di sejumlah titik konsentrasi perkembangbiakan bulus tak banyak membuahkan hasil.

Selain itu, kerusakan ekosistem sekitar bantaran DAS Brantas ditengarai juga kian mengkhawatirkan. Mengacu hasil kajian PSLH Mangkubumi pada riset terdahulu, keanekaragaman hayati di tepian sungai Brantas saat ini tidak lagi terjaga.

Beberapa tanaman obat tradisional seperti kemiri dan rosela yang biasanya tumbuh bersama semak-belukar di sekitar bantaran sungai nyaris hilang.

Demikian juga dengan vegetasi rumpun-rumpun bambu yang berfungsi melindungi bantaran sungai dari erosi. Jenis tanaman yang disebut terakhir ini secara umum memang masih ada, tetapi bila dibanding 5-10 tahun lalu, vegetasinya sudah berkurang banyak.

Sebagai gantinya, warga lebih suka menanam rumput gajah di sekitar bantaran sungai. "Padahal rumput gajah tidak bisa melindungi tebing sungai dari gerusan air, apalagi saat terjadi banjir," kata Ikhwan.

Jalan Keluar
Upaya reklamasi penampang dasar sungai agar kembali seperti sedia kala (kedalaman normal antara 3-4 meter) sepertinya sulit terwujud. Pihak Perum Jasa Tirta maupun Balai Besar Brantas mengisyaratkan "lempar handuk" untuk melakukan normalisasi "river bed" (dasar) seperti yang telah direncanakan tim teknis mereka.

Alasannya sederhana, butuh jutaan metrik ton pasir untuk mereklamasi dasar sungai Brantas maupun kawasan DAS di sekitarnya yang mengalami degradasi antara 6-12 meter. Apalagi penurunan dasar sungai itu terjadi di hampir sepanjang jalur sungai yang mencapai 70 kilometer lebih mulai dari Bendungan Lodoyo di Kabupaten Blitar hingga Bendungan Lengkong di Kabupaten Mojokerto.

"Elevasi dasar sungai Brantas mungkin baru bisa normal kembali bila terjadi ledakan besar pada Gunung (api) Kelud sehingga memuntahkan pasir yang tidak terbatas," ujarnya.

Kalaupun dipaksakan, kata Mariyadi, biaya atau ongkosnya bisa mencapai triliunan rupiah. Anggaran sebesar itu sepertinya mustahil dikeluarkan hanya untuk melakukan reklamasi buatan.

Satu-satunya jalan keluar yang saat ini bisa dilakukan pemerintah hanyalah memperketat peraturan penambangan bahan galian golongan-C, terutama jenis pasir dan batuan di semua aliran Sungai Brantas maupun kawasan DAS Brantas.

Langkah tegas harus dilakukan oleh semua aparat penegak hukum bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat, tidak hanya sebatas penertiban seperti yang lalu-lalu, tetapi juga menjatuhkan sanksi denda serta hukuman badan agar memberi efek jera.

"Tanpa ada upaya pemberian efek jera, aktivitas penambangan pasir liar ini sulit dihentikan," papar Ichwan.

Mereka hanya berharap agar masing-masing pemerintah daerah bersikap tegas, terutama dalam menindak ataupun mengarahkan masyarakat penambang pasir agar mengalihkan aktivitasnya ke kawasan "sabuk" Kali Lahar di lereng sekitar Gunung Kelud maupun Arjuno.

"Kalau penggalian atau penambangan dilakukan di daerah `sabuk` (Gunung) Kelud tentunya tidak akan berpengaruh ke Sungai Brantas. Harus ada komitmen dari pemerintah daerah seperti baru-baru ini mulai dilakukan Pemkab Jombang," kata Mariyadi.

Karena itu, PSLH Mangkubumi beserta para penggiat lingkungan yang tergabung dalam jaringan Gardu Brantas Tulungagung saat ini akan mencoba mendesak pemerintah daerah maupun Provinsi Jatim agar secepatnya membuat perda pengelolaan serta pemanfaatan DAS Brantas.

Mereka menengarai hilangnya sejumlah biota sungai serta rusaknya keanekaragaman hayati di sekitar DAS Brantas dipengaruhi oleh aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab, seperti penambangan pasir secara masif dan terus-menerus, pembangunan bendungan-bendungan, maupun akibat perusakan tanaman di sekitar bantaran.

"Sebisa mungkin kerusakan lingkungan serta ekosistem sungai ini harus dicegah, kalau perlu dihentikan sama sekali," ujarnya.
(C004/J006)

Pewarta: Oleh Destyan S dan Chandra HN
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011