Makassar (ANTARA News) - Industri media kapitalistik semakin terasa melalui tayangan-tayangan televisi yang secara perlahan menggerogoti nilai budaya dan idiologi bangsa.

"Televisi menyajikan tayangan yang pelan-pelan menggusur ideologi kita," kata Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Bidang Perizinan, Iswandi Syahputra, dalam dialog "Penguatan peran KPI sebagai regulasi penyiaran" di Makassar, Kamis.

Kepentingan industri hanya mengejar keuntungan dan masyarakat hanya diberi kebutuhan semu dengan tayangan yang didominasi acara berbau kekerasan, adegan seks, sinetron, infotaintment, dan acara hiburan lainnya yang tidak mendidik.

Iswandi mengemukakan, sinetron dan acara hiburan yang hanya mengeksploitasi gadis-gadis cantik, berkulit putih, rambut lurus, adalah penipuan sistematik yang telah melukai anak bangsa yang memiliki bentuk fisik yang berbeda.

"Kasus kekerasan mendominasi isi siaran. Seharusnya kebebasan memiliki tanggungjawab sosial. Sebab umumnya publik hanya bisa menuntut, tetapi tidak bisa memberi," jelasnya.

Untuk itu, KPI menuntut agar revisi UU Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, memberikan kewenangan penuh kepada KPI untuk memberikan sanksi pencabutan hak siar kepada media yang hanya mementingkan keuntungan.

Iswandi juga mengemukakan, satu televisi atau media lain tidak boleh menguasai 35 persen khalayak, sehingga revisi UU penyiaran harus mempertegas durasi waktu televisi untuk siaran lokal.

Sementara, mantan anggota KPID Sulsel, Hidayat Nahwi Rasul mengatakan bahwa media saat ini, khususnya televisi begitu kebablasan dalam hal pornografi dan beragam kekerasan.

"Coba banyangkan ketika media mencari uang dengan terus menyajikan popularitas Ariel dan Luna Maya. Bisa dibayangkan jika generasi kita nantinya menganggap hal tersebut biasa. Media cari uang dari tercabutnya akar budaya kita," ucapnya.

Hidayat yang baru terpilih jadi anggota Komisi Informasi Publik (KIP) Sulsel menilai, media saat tidak lagi memperdulikan akan fungsi media yakni edukasi.

"Media mengalami disfungsi yang sangat fatal, didominasi dunia hiburan. Lihat saja ada kuis milioner yang begitu mendidik, namun diganti dengan acara menebak uang dalam koper yang dibawa oleh perempuan rok pendek," tuturnya.

Ia juga menyindir, pemilik media di negeri ini yang seolah-olah mereka bisa menentukan baik-buruknya sesorang.

Sementara PLT Kadiv Humas Polda Sulselbar AKBP Muhammad Siswa menyatakan mendukung penguatan wewenang KPI dalam memberikan sanksi kepada media yang hanya menyajikan tentang aksi kekerasan dan pornoaksi.

Ia juga meminta KPI terlebih dahulu melakukan penelitian ilmiah terkait pengaruh tayangan kekerasan dan pornoaksi di media terhadap perilaku generasi bangsa, khususnya anak-anak.

(KR-AAT/S016/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011