Di tengah berbagai hiruk pikuk politik di Tanah Air, termasuk keributan mengenai korupsi daging sapi, masyarakat dilanda "kegatalan" sesaat menanggapi rencana pemberian penghargaan negarawan dunia 2013 atau "World Statesman Award" kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh sebuah organisasi yang bermarkas di kota New York, "Appeal of Conscience Foundation" (ACF) tanggal 30 Mei 2013.

Saya ingin perjelas di awal tulisan ini bahwa saya bukan tidak setuju dengan kepedulian teman-teman tentang adanya gesekan-gesekan atau bahkan kekerasan-kekerasan antar komunitas beragama di Indonesia.

Tidak juga mengingkari ketidaksempurnaan pemerintah, dan khususnya para penegak hukum, dalam upaya menangani kekerasan-kekerasan itu.

Bahkan dalam beberapa kesempatan telah saya sampaikan kekecewaan, dan bahkan rasa malu saya sebagai anak bangsa, khususnya dalam kaitan dengan keaktifan saya dalam membangun hubungan dan kerja sama antarumat beragama di Amerika Serikat.

Kekerasan-kekerasan yang masih terjadi di negara kita, baik itu bersifat intraagama (Sunni-Syi`ah) maupun antaragama (Islam - Kristen) adalah hal yang seharusnya menjadi perhatian bersama.

Fenomena tersebut mencoreng wajah bangsa Indonesia, yang secara historis memiliki kultur yang damai dan bersahabat.

Bangsa Indonesia dikenal sejak zaman dahulu sebagai bangsa yang ramah, rendah hati, dan hormat. Secara khusus, bagi saya pribadi, Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim dan bahkan dikenal sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, tentu fenomena ini menyedihkan, dan bahkan memalukan.

Namun demikian, apakah pemberian penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dianggap peremehan, dan bahkan dicurigai akan menambah kekerasan-kekerasan dan konflik antaragama?

Saya tidak setuju dan bahkan berpikir sebaliknya. Saya justru mendukung dan bangga dengan pemberian penghargaan ini kepada beliau dengan sejumlah alasan, seperti harus diakui bahwa tidak ada negara di dunia kita yang `immune` atau bebas dari gesekan-gesekan antarkomunitas, termasuk di dalamnya antarkomunitas agama.

Bahkan Amerika sekalipun kenyataan itu ada. Sebagai seorang muslim yang hidup di AS, saya bisa menjadi saksi kerukunan dan bahkan kerja sama antar umat beragama di negara ini.

Tapi sebaliknya saya juga bisa menjadi saksi akan perlakukan-perlakukan diskriminasi kepada komunitas kami di negara ini.

Kenyataan ini seharusnya membuka mata kita bahwa menuju kepada kesempurnaan itu merupakan proses yang tidak terjadi dalam sekejap.

Dan dalam proses itu diperlukan kesabaran dan kejelian dalam melihat berbagai peluang yang memungkinkan untuk mengurangi tensi dan konflik antar-agama itu.

Saya yakin, Indonesia sedang dalam persimpangan jalan menuju kepada kematangan demokrasi. Dan dalam proses kematangan tersebut sepertinya menjadi bagian dari sunnahnya bahwa akan terjadi "ketidaknyamanan", seperti konflik dan kekerasan antarras di tahun hanya beberapa tahun dilam di AS.

Sebagai warga Indonesia yang tinggal di luar negeri yang cukup lama, sekitar 16 tahun, saya selalu disuapi oleh berbagai informasi yang buruk mengenai Indonesia. Maka ketika ada pemberian penghargaan ini saya merasa itu adalah pelipur lara dan bahkan kebanggaan bahwa ternyata ada perubahan yang terjadi di mata dunia.

Indonesia makin baik

Bahwa kendati dengan berbagai kekurangan itu, dunia semakin mengakui bahwa negara Indonesia sedang berjuang untuk menjadi lebih baik, termasuk dalam tatanan kehidupan antarumat beragama.

Bagi saya, pemberian penghargaan ini akan menjadi cambuk tersendiri bagi pemerintah dan juga rakyat Indonesia untuk semakin membuktikan kepercayaan dunia itu.

Sebab terkadang apresiasi itu menjadi motivasi dalam melakukan hal-hal yang dihargai tersebut. Contoh kecil, ketika komunitas lain mengakui dan menghargai kerja-kerja membangun dialog antarberagama yang saya lakukan, saya semakin merasa termotivasi dan terdorong untuk melakukan yang lebih baik lagi.

Semoga pemberian penghargaan ini akan menjadi cambuk bagi pemerintah dan rakyat Indonesia untuk melakukan perbaikan menuju kepada yang lebih baik.

Kepada bangsa

Saya menilai penghargaan ini tidak diberikan kepada pribadi Presiden SBY. Tapi saya menilai penghargaan ini diberikan kepada negara dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, ketika ada pihak-pihak yang merasa belum puas dengan apa yang terjadi di dalam negeri, maka sebaiknya memakai kacamata yang lebih besar dalam melihat pemberian penghargaan ini.

Maksud saya, bahwa lihat pemberian penghargaan ini sebagai pengakuan dunia terhadap Indonesia dan bukan pengakuan dunia kepada SBY.

Dengan demikian, kalaupun merasa tidak puas dengan SBY sebagai pribadi, seharusnya merasa bangga dengan penghargaan atau pengakuan dunia ini kepada negara dan bangsa kita.

Pada akhirnya, apa pun dan bagaimanapun pendapat kita, itu adalah hak yang dijamin oleh UU negara dan tentunya yang lebih penting oleh Tuhan.

Adanya perbedaan-perbedaan dalam melihat sebuah permasalahan adalah lumrah, dan bahkan bisa saja membawa `berkah` asal dilandasi oleh niat ikhlas dan jujur kepada diri, kepada bangsa dan negara, dan tentunya yang lebih penting kepada Tuhan kita.

Apalagi, dalam dunia keterbukaan dan yang lebih demokratis saat ini, kemampuan kita mengekspresikan pendapat dan bahkan yang pahit sekalipun, memang dianggap menjadi bagian dari proses pematangan itu sendiri.

Secara pribadi, saya ingin menyampaikan ucapan selamat kepada Presiden RI, kepada bangsa dan negara, atas pengakuan dunia.

Tentu diikuti oleh sebuah harapan dan doa, semoga Presiden dan rakyat Indonesia menjadikan penghargaan tersebut sebagai motivasi, dan bahkan cambuk yang keras untuk semakin melakukan yang terbaik bagi seluruh rakyat RI ke depan. Amin!

*) Direktur Jamaica Islamic Center dan Imam Masjid Indonesia New York
(A025/A011)

Oleh M Shamsi Ali*
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013