Jakarta (ANTARA News) - Direksi PT Panca Logam Makmur (PLM) hasil rapat umum pemegang saham 31 Mei 2013, meminta polisi bertindak adil dalam menyikapi sengketa pengelolaan areal tambang emas perusahaan itu yang berlokasi di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.

"Petugas kepolisian di lapangan melarang kami masuk ke areal tambang dengan dalih ini perintah dari Kapolda Sulawesi Utara. Ini aneh, karena sesuai dengan RUPS terbaru, kamilah pengelola sah areal tambang PT PLM," kata Direktur Utama PT PLM Muchamad Nabil Haroen di Jakarta, Rabu.

Nabil menuturkan, pada hari Selasa (23/7), dirinya bersama beberapa direksi PLM hasil RUPS tanggal 31 Mei 2013, yakni Arif Yanto, Yosafat Soeharto, dan Hadyanto Chandra berusaha memasuki areal tambang. Namun, ia gagal setelah dihadang oleh oknum aparat kepolisian yang melaksanakan tugas pengamanan.

Padahal, kata Nabil, tidak hanya berdasarkan RUPS terbaru, dalam gugatan perdata yang diajukan oleh R.J. Suhandoyo--mantan komisaris yang kemudian menjabat Pelaksana Tugas Direktur Utama PLM--ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas sengketa keabsahan direksi dan pengelolaan areal tambang tersebut, pihaknya justru yang diputuskan sebagai pemenang.

Meski demikian, kata Nabil, berdasar informasi yang diterima pihaknya, Kapolda Sulawesi Utara tetap melarang pihaknya masuk ke areal tambang karena putusan PN Jakarta Barat dianggap belum final.

"Kalau memang demikian polisi seharusnya juga adil, jangan mem-`back-up` oknum melakukan penguasaan dan penambangan. Fakta hukum sekarang R.J. Suhandoyo sudah kalah di persidangan, kenapa justru dilindungi untuk terus menambang?" ujarnya.

Nabil mengatakan bahwa pihaknya sudah lebih dari setahun tidak bisa menjalankan aktivitas pertambangan dan mendapatkan hasil atas usaha yang dijalankan setelah areal tambang dikuasai oleh R.J. Suhandoyo.

Kuasa hukum jajaran direksi PLM hasil RUPS tanggal 31 Mei 2013 Romulo Silaen menjelaskan pada awalnya PLM dipimpin oleh dua orang komisaris, yaitu Handoko dan R.J. Suhandoyo, serta dua orang direktur lainnya.

Menurut dia, pada bulan Januari 2012, Suhandoyo secara sepihak dan tidak melalui proses RUPS memecat direksi. Padahal, menurut UU Perseroan Terbatas, setiap perseroan yang memiliki lebih dari seorang komisaris, segala keputusan yang diambil tidak dapat diputuskan secara sepihak.

"Nah, pemecatan direksi oleh R.J. Suhandoyo tersebut tanpa sepengetahuan Handoko selaku komisaris lainnya, baik lisan maupun tertulis," kata Romulo.

Pascapemecatan direksi, lanjut Romulo, tanpa melalui jalur RUPS, R.J. Suhandoyo menunjuk dirinya sebagai Pelaksana Tugas Direktur Utama PLM dan secara sepihak menguasai dan mengelola tambang.

Atas kondisi tersebut, para pemegang saham pada bulan Maret 2012 langsung menggelar RUPS. Namun, dalam kesempatan tersebut R.J. Suhandoyo tidak hadir meski undangan telah dikirimkan.

RUPS tersebut memutuskan pengelolaan PLM diserahkan kepada jajaran direksi baru, yang terdiri atas Sutanto sebagai komisaris utama serta Agus Salim (Alm.) dan Handoko sebagai komisaris, sedangkan direktur utama ditunjuk Henry J. Gunawan, serta Yosafat Soeharto, Fransiskus Thiodoris, Raja Sirait, dan Hadyanto Chandra sebagai direktur.

RUPS tersebut juga memutuskan kantor pusat PLM dari sebelumnya ada di Jakarta dipindahkan ke Surabaya.

Suhandoyo mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Barat atas susunan direksi baru hasil RUPS tersebut. Pada tanggal 12 Februari 2013, PN Jakarta Barat mengeluarkan putusan atas sengketa tersebut dan memenangkan jajaran direksi hasil RUPS sekaligus memberikan hak kuasa kepemilikan dan pengelolaan PLM.

Pada tanggal 31 Mei 2013, PT PLM menggelar kembali RUPS dan mengangkat Nabil Haroen sebagai direktur utama.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013