Belum lama ini Direktorat Jenderal Pajak dianugerahi penghargaan Most Trusted Institution dari lembaga ternama MarkPlus. Ini melambangkan pelayanan Ditjen Pajak sebagai terbaik dalam pelayanan masyarakat.

Namun pakar hukum pajak Kadek Cahya Susila tak ingin terburu-buru mengamini hal ini. "Kalau secara empiris, perlu survey lagi. Saya melihat masih ada antipati dari masyarakat  terhadap Ditjen Pajak karena banyak persoalan pajak yang belum selesai. Masyarakat menjadi berpikir, buat apa membayar pajak," kata pengajar hukum pajak dan hukum keuangan negara pada Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, ini.

Tapi Kadek mengakui pelayanan lapangan Ditjen Pajak memang membaik, menunjuk sistem online dan keberanian lembaga untuk memasuki pusat keramaian manusia seperti mal-mal. Kendati begitu, dia menggarisbawahi, masyarakat masih belum banyak melihat hasilnya.

Di sisi lain, berdasarkan catatan Ditjen Pajak sendiri, predikat terpercaya di mata publik itu bersesuaian dengan terus meningkatnya kepatuhan Wajib Pajak dalam beberapa priode terakhir. Taruhlah priode 2008-2012.

Pada 2008 rasio kepatuhan Wajib Pajak ini mencapai 33,08%. Setahun kemudian pada 2009 melonjak menjadi 54,15%, lalu naik kembali pada 2010 mencapai 58,16. Sayang pada 2011 turun menjadi 52,74%, namun akhirnya kembali naik menjadi 53,70% pada 2012.

Tapi rasio kepatuhan ini bisa saja berkaitan dengan sistem penegakan hukum, diantaranya penagihan oleh Ditjen Pajak kepada Wajib Pajak yang tahun lalu menyumbang sekitar 14 persen dari total pengurangan piutang pajak per 31 Desember 2012 yang mencapai  Rp85,65 triliun.

Dalam beberapa hal itu patut diapresiasi, namun Kadek tak begitu setuju melihat tingkat kepatuhan pajak dari sisi dampak penegakan hukum, apalagi dia menilai rasio kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang sudah maju pengelolaan pajaknya. "Jadi, poin pentingnya adalah bukan soal law enforcement, tapi mengapa rendah tingkat kepatuhan pajak," kata Kadek.

Dia menekankan bahwa konsep pajak itu adalah masyarakat mendapatkan prestasi langsung dari pajak yang dibayarkannya, bukan sebaliknya. "Misal, membayar pajak tapi jalan rusak di depan rumah belum diperbaiki. Ini seharusnya diperlakukan seperti retribusi, kalau bayar parkir kan langsung dapat pelayanan," sambung Kadek membandingkan dengan retribusi.

Menurut dia, pemahaman demikian belum ada di negara berkembang seperti Indonesia, sebaliknya di negara-negara maju pemahaman itu sudah lumrah. "Itu yang harus diperbaiki," tegas Kadek.

Namun Kadek setuju jika penegakan hukum diterapkan kepada kasus-kasus besar, dan law enforcement bidang pajak seperti itu berada di wilayah hukum publik. Misalnya, masalah tunggakan pajak satu Wajib Pajak yang menurut negara 10 juta, tetapi si Wajib Pajak malah menghitung kewajiban pajaknya itu hanya dua juta.

"Karena ada selisih itu, Wajib Pajak maunya keberatan, banding, dan sebagainya. Kalau mau seperti itu, mereka harus membayar dahulu beban pajak yang ditentukan. Bagi masyarakat itu memberatkan. Paling enggak 50 persen dari 10 juta, 2 juta, atau yang disepakati. Bagi masyarakat kecil itu jumlah tersebut terlalu besar," papar Kadek.

Namun kadang negara berpendapat ya ketika sudah menghadapi keberatan. Negara membolehkan banding, tanpa membayar dulu. Membayar setelah ada putusan atau boleh menunda pembayaran pajak.  Celakanya, kata Kadek, konsep ini dimanfaatkan Wajib Pajak.  "Mereka bisa menunda pembayaran dengan alasan ada selisih nilai pembayaran. Berusaha menghindar sehingga pemasukan negara enggak ada," sambung dia.

Dalam persoalan seperti ini Kadek setuju hukum harus ditegakkan, apalagi menurutnya hukum pajak adalah menyangkut penegakkan keadilan, selain demi kas negara.  Namun dosen Universitas Diponegoro itu tidak setuju jika penegakan hukum kepada Wajib Pajak yang sulit memenuhi kewajibannya diserahkan kepada jasa outsourcing debt collector di mana beberapa negara sukses memanfaatkan pola ini.

"Secara hukum tidak. Ada yang namanya witholding system, ada pihak ketiga yang membantu untuk menagih pajak. Misalnya untuk PNS, pajak langsung dipotong dari gaji oleh bendahara. Bukan debt collector," kata Kadek.

Satu hal yang juga digarisbawahi Kadek dalam soal penegakan hukum adalah kestandaran dalam memahami kasus pajak, di antara sistem penegakan hukum di kepolisian dan kejaksaan.

"Kadang-kadang law enforcement mestinya berbicara soal hukum. Tetapi, kalau masalah pajak, ya mestinya bidang pajak. Tapi memang perlu ada kerjasama antara Kejaksaan Agung dan Polri dengan pihak pajak. Law enforcement itu susah karena kemampuan Polri yang terbatas. Untuk itu perlu ada pelatihan. Hakim pajak pun harus lulusan sarjana hukum dan mengerti ekonomi," papar Kadek.

Kemudian, terhadap semua yang menyangkut penegakan hukum, Kadek setuju semua bidang penegakan hukum –pemeriksaan, penagihan dan penyidikan-- harus digalakkan oleh Ditjen Pajak, karena tahapan itu dimulai dari bawah dan di ruang lingkup Ditjen Pajak.

Hal itu menurut Kadek adalah mengenai angkaian kegiatan bagaimana pajak dibayarkan. Negara mempunyai ketentuan dan tidak ada yang harus didahulukan karena semua penting. Negara punya kewenangan penagihan seketika dan sekaligus, pengabaian terhadap yang lainnya, misalnya bila Wajib Pajak akan pergi ke luar negeri atau menghilangkan barang bukti.

"Kalau mau langsung sita juga boleh misalnya perusahaan yang mau tutup, yang diputus pailit oleh pengadilan sehingga tidak bisa membayar pajak," lanjut Kadek.

Tapi yang paling ditekankan Kadek adalah masyarakat mendapat pemahaman yang cukup dan memadai mengenai pajak dan potensi pelanggaran pajak yang mungkin bisa dialami Wajib Pajak.

"Misalnya ketika masyarakat bersengketa dengan Ditjen Pajak, secara psikologis masyarakat ada di bawah. Ditjen Pajak mempunyai data, tetapi masyarakat kan tidak. Seringnya Ditjen Pajak menang ketika ada masalah karena masyarakat enggak memegang data dan enggak punya pengetahuan tentang pajak. Untuk itu perlu ada pemahaman dan perlu ada edukasi mengenai pajak kepada masyarakat," kata Kadek.

Sebaliknya masyarakat juga perlu berperan serta langsung dalam mencegah penyelewengan pajak atau tindakan negatif lain yang berkenaan dengan kewajiban pajak masyarakat.

Masyarakat harus berani melaporkan penyimpangan itu. Kadek mengaku mau melakukan itu atas nama pribadi, dengan catatan memang pelanggaran pajak itu terjadi karena kesengajaan.

"Ada yang harus diperbaiki. Ketika kita melapor, petugas pajak datang untuk memeriksa, untuk mencari angka yang benar. Bukan untuk membuat Wajib Pajak takut. Untuk itu, kepada petugas penegak pajak, jadilah pengoreksi," kata Kadek.

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2013