Negara Indonesia saat ini tidak dalam keadaan genting...
Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Universitas Andi Djemma Sulawesi Selatan mengatakan, Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) hanya bisa dikeluarkan apabila negara ini dalam keadaan genting.

"Negara Indonesia saat ini tidak dalam keadaan genting, sehingga Perpu tidak bisa dikeluarkan oleh presiden walau itu kewenangannya," kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andi Djemma Sulawesi Selatan, Profesor Lauddin Marsuni, di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan, analisis yuridis sosiologis niat Presiden menetapkan Perpu atas UU Pilkada itu tidak bisa dilakukan langsung karena semua ada aturannya.

Perpu merupakan salah satu produk hukum yang dapat ditetapkan oleh presiden dalam hal ihkwal kegentingan yang memaksa, sebagaimana diatur pada Pasal 22 Ayat (1) UUD 45, Pasal 1 Angka 4 dan Pasal 7 Ayat (1) huruf c UU No 12 Tahun 2011 Ten tang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Menurutnya, walaupun demikian kekuasaan atau kewenangan presiden untuk menetapkan Perpu itu juga harus memenuhi persyaratan yang bersifat materil yaitu apabila negara dalam terjadi stay dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Memang dalam UUD 45 dan UU No 12 Tahun 2011 tidak memberikan rumusan atau tafsir yuridis tentang kategori hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dimaksud.

Namun secara akademik dapat dirumuskan kegentingan yang memaksa sebagai berikut pertama adanya situasi bahaya atau situasi genting, kedua adanya situasi bahaya atau genting mengancam keselamatan negara jika pemerintah tidak cepat mengambil tindakan hukum konkrit.

Selanjutnya, ketiga adanya situasi yang sangat mendesak sehingga diperlukan tindakan pembentukan hukum (UU) pemerintah tanpa menunggu mekanisme DPR RI.

Lauddin mengatakan, kaitannya dengan pemikiran yang saat ini berkembang agar presiden menetapkan Perpu sebagai solusi yuridis atas penolakan sebagian warga negara terhadap UU Pemilukada yang baru disahkan DPR RI dan belum masuk lembaran negara.

Analisis dari hal itu sebagai berikut, pertama UU Pemilukada adalah produk hukum yang merupakan persetujuan bersama antara DPR dan presiden, kalau persetujuan bersama berarti presiden dalam hal ini pemerintah tidak memperhatikan azas-azas pembentukan peraturan perudang-undangan.

Akibat hal itu presiden mempermalukan lembaga sendiri, akibat kekurangan cermat dalam pembahasan dan persetujuan bersama.

Lanjutnya, kedua, UU yang ditetapkan tanpa persetujuan bersama adalah produk hukum bersifat cacat prosedur maka solusinya adalah perubahan. Ketiga, apakah saat ini Negara RI berada dalam ikhwal keadaan kegentingan yang memaksa, menurut pandang dirinya saat ini negara tidak dalam ikhwal kegentingan yang memaksa.

"Untuk itu warga negara yang dirugikan hak konstitusional dapat menggunakan prosedur judicial review (hak uji meteril) ke Mahkamah Konstitusi," tuturnya.

Dikatakannya, konkritnya adalah syarat materil untuk menetapkan Perpu tentang perubahan atau penundaan UU Pemilukada tidak terpenuhi.

Sedangkan kejadian persetujuan DPR Tentang UU Pemilukada yang dilakukan melalui voting, yang berkaitan dengan substansi materi RUU, sebaiknya tidak terulang masa yang akan datang, yang mengundang penolakan warga negara.

Untuk maksud tersebut DPR melalui Panitia Khusus (Pansus) atau Panja memperbanyak rapat dengan pendapat dengan pemangku kepentingan, demikian Lauddin. (*)

Pewarta: Gunawan Wibisono
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014