Pemerintah lalai mengurus cagar alam sejak awal.
Gorontalo (ANTARA News) - Tak berbeda dengan cagar alam lainnya di Provinsi Gorontalo, kondisi Cagar Alam Mas Popaya Raja yang terletak di Kabupaten Gorontalo Utara semakin memprihatinkan.

Petugas BKSDA yang menjadi jagawana di cagar alam ini selama lebih dari 27 tahun, Ismail Kulupani (55), mengatakan ancaman terbesar di cagar alam ini adalah kepunahan biota yang dilindungi, serta potensi kebakaran yang bisa terjadi kapan saja.

Biota yang khas di Mas Popaya Raja adalah empat jenis penyu yakni penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dan penyu tempayan (Caretta caretta).

Yang paling banyak ditemui, kata dia, adalah penyu sisik dan dilakukan penangkaran hingga ratusan butir telur setiap kali penyu bertelur.

Biota lainnya yang hidup di situ adalah burung gosong (satu kerabat dengan burung Maleo), biawak dan kelelawar yang juga diburu oleh manusia untuk sekadar hobi, dijadikan santapan hingga obat penyakit tertentu.

Selain daging penyu yang dihargai mahal, telur penyu juga diburu karena dianggap berkhasiat mengobati masuk angin dan meningkatkan stamina pria.

Nasib yang sama juga dialami burung gosong dengan adanya mitos di kalangan masyarakat yaitu mengambil kepala dan kaki burung gosong akan mampu mencegah terjadinya longsor.

Di sisi lain, telur burung gosong ini menjadi salah satu makanan yang disajikan dalam perayaan tradisi walima yang dilakukan masyarakat saat Maulid Nabi Muhammad SAW.

"Beberapa tahun terakhir perburuan penyu mulai berkurang karena masyarakat di sekitar cagar alam mulai sadar akan pentingnya melestarikan penyu. Yang harus diwaspadai adalah nelayan dari wilayah lain atau oknum pihak berwajib yang turut berperan," tukasnya.

Ancaman lain di wilayah perairan cagar alam adalah pengeboman ikan oleh nelayan dari wilayah lain, yang mengakibatkan hancurnya terumbu karang serta terganggunya rantai makanan di laut itu.

"Dulu saya sering melihat ada ikan paus dan duyung di sekitar perairan Pulau Raja dan Popaya, tapi sekarang sulit ditemukan lagi," ungkapnya.

Pengeboman ikan juga berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup penyu.

Ismail menjelaskan dirinya harus melakukan patroli setiap hari untuk memantau aktivitas nelayan yang masuk, meski tak ada biaya operasional sepeser pun untuk itu.

Untuk memelihara anak penyu dalam penangkaran, ia hanya mengandalkan gajinya sebagai PNS sehingga fasilitas yang digunakannya jauh dari cukup.

Kendati kondisi itu memprihatinkan, namun ratusan tukik berhasil diselamatkan setiap tahun berkat tangan terampil Ismail.

Ia menjelaskan kawasan tersebut ditetapkan sebagai cagar alam oleh Ratu Wilhelmina tahun 1939 pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Cagar Alam ini bisa diakses melalui Desan Dunu di Kecamatan Monano, dengan perahu mesin tempel yang milik nelayan setempat.

Total luasnya sekitar 160 hektare, di mana Pulau Raja memiliki luas terbesar yaitu 158 hektare. Sedangkan Pulau Popaya luasnya satu hektare lebih dan Pulau Mas kurang dari satu hektare.

Pulau Raja terdiri didominasi oleh vegetasi hutan dan bentangan pasir putih, namun terdapat lokasi berbatu di bagian kecil pulau.

Sebaliknya Pulau Popaya hanya ditumbuhi beberapa pohon pepaya dan sisanya adalah pantai berpasir lembut. Popaya adalah tempat bertelur sebagian besar penyu.

Sementara Pulau Mas didominasi bebatuan yang dulu merupakan areal penambangan emas.

Pegiat lingkungan di Gorontalo, Rahman Dako, menilai nasib cagar alam tersebut sama halnya dengan kawasan konservasi lainnya di Provinsi Gorontalo seperti Panua dan Tanjung Panjang.

"Pemerintah lalai mengurus cagar alam sejak awal. Belum ada niat baik untuk menyegerakan pemulihan atau melestarikannya. Untuk satu cagar alam saja, biasanya hanya ada satu petugas yang disediakan," katanya.

Ia mengaku tak heran bila jagawana seperti Ismail bekerja sendiri, tanpa dukungan biaya operasional dan fasilitas memadai. Menurutnya, pemerintah harus menyesuaikan jumlah dan fasilitas petugas dengan luas cagar alam yang harus dijaga.

Oleh Debby Hariyanti Mano
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014