Bandarlampung (ANTARA News) - Anggota Komisi V DPR RI Abdul Hakim meminta dilakukan peninjauan kembali rencana Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Perhubungan RI untuk menambah 51 pesawat latih baru untuk tahun anggaran 2015 ini.

"Apakah pengadaan pesawat latih baru tersebut memang sudah melalui studi cermat? Apakah memang harus dengan pengadaan baru alih-alih perbaikan pesawat yang sudah ada? Terutama jika ini untuk menjawab problem penumpukan siswa penerbang yang kabarnya mencapai 422 orang itu," ujar legislator Komisi V yang juga merupakan Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI ini melalui siaran persnya yang diterima Antara Biro Lampung, Jumat.

Ia menyebutkan, sebelumnya BPSDM Perhubungan merespon kebutuhan 400-600 penerbang di Indonesia dengan program pengadaan sarana dan prasarana pendidikan penerbang yang keseluruhannya memerlukan anggaran yang cukp besar.

Anggarannya menurut dia, cukup fantastis antara lain untuk pengadaan 25 pesawat latih mesin tunggal high wing, 11 pesawat latih mesin ganda, dan 15 pesawat latih helikopter.

Selain mengajukan pesawat latih baru, BPSDM Perhubungan juga mengajukan pengadaan 2 full flight simulator di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, pengembangan fasilitas pendidikan di Loka Pelatihan dan Pendidikan Penerbang (LP3) Banyuwangi, dan subsidi rekrutmen 120 siswa penerbang. Pesawat latih tersebut di antaranya jenis Piper Warrior III, Cessna 172, dan Helli Bell 206. Hal ini, menurut pihak BPSDM Perhubungan Deddy Dharmawan, untuk menjawab kebutuhan penerbang Indonesia yang masih jauh dari jumlah ideal 600 penerbang, bersamaan dengan fakta adanya penumpukan 422 siswa penerbang STPI Curug dan 60 siswa LP3 Banyuwangi.

Menurut Hakim, peninjauan alokasi anggaran antara lain karena dirinya juga menerima laporan adanya inefisiensi anggaran dalam pengelolaan pendidikan penerbang ini.

"Subsidi pemerintah untuk pendidikan penerbang seharusnya dapat menghasilkan 120 penerbang tiap tahun, namun kenyataannya hanya bisa menghasilkan 60 penerbang tiap tahun. Yang perlu dikaji apakah problemnya di ketiadaan sarana seperti pesawat latih atau pada sistem pendidikan penerbangnya?" ujar anggota DPR empat periode asal Lampung ini.

Komisi V DPR RI menerima sejumlah masukan terkait pengelolaan pendidikan penerbang di Tanah Air antara lain dari Vice President Indonesia Aviation and Aerospace Watch (IAAW) Juwono Kolbioen yang menegaskan bahwa biaya subsidi pemerintah seharusnya cukup untuk melaksanakan proses pendidikan penerbang yang meliputi biaya terbang, bahan bakar, maintenance, suku cadang, board and lodging, dan lain-lain.

"Pembentukan penerbang gagal memenuhi sasaran sebagaimana yang telah dianggarkan. Tapi saya lihat masalahnya bukan karena kekurangan pesawat latih atau kurangnya peralatan pendidikan dan jumlah biaya pendidikan," ujar Marsekal Pertama (Purn) itu.

Masalah penumpukan siswa penerbang ia sarankan perlu bekerjasama dengan Asosiasi Pendidikan Penerbangan Indonesia (APPI), dalam hal penyaluran dan penyelesaian masalah training, melalui kerjasama antar regulator, pihak maskapai atau air operator.

"Terkait pengadaan pesawat latih baru perlu dilakukan assessment secara lengkap terlebih dulu, kalau perlu dari lembaga yang independen dan expert di bidang aviation, sehingga biaya yang semula akan digunakan untuk beli pesawat dapat diatur lebih baik," pungkas Juwono.

Pewarta: Agus Wira sukarta
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015