Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum Novel Baswedan menduga ketidakhadiran pihak Badan Reserse Kriminal Polri dalam sidang perdana praperadilan yang diajukan Novel itu atas penangkapan dan penahanan dirinya, merupakan indikasi Polri untuk mengulur waktu agar praperadilan bisa gugur.

"Kita duga ketidakhadiran Polri ini ada kaitannya dengan percepatan kasus di sana. Karena kalau kasus ini sudah P-21 maka dengan sendirinya gugatan praperadilan yang kita ajukan akan gugur, sementara masih ada gugatan (praperadilan) lain yang kita ajukan yaitu tentang penyitaan dan penggeledahan," tutur salah satu kuasa hukum Novel, Julius Ibrani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.

Karena ketidakhadiran Polri yang merupakan pihak termohon praperadilan, maka hakim tunggal Zuhairi yang memimpin sidang tersebut memutuskan bahwa sidang ditunda hingga Jumat (29/5).

Berkaitan dengan penundaan tersebut, Julius menyatakan bahwa hakim tidak perlu melakukan panggilan kedua dan ketiga.

"Cukup panggilan kedua saja pada Jumat mendatang, kalau termohon tetap tidak hadir langsung saja mulai sidang," tuturnya.

Hal itu, katanya, dikarenakan proses praperadilan sifatnya "urgent" dan cepat karena berkejaran dengan proses penyidikan perkara pokok Novel yang menurut informasi berkasnya masih P-19.

Dalam permohonan praperadilannya, kuasa hukum Novel meminta hakim PN Jakarta Selatan menyatakan tidak sahnya penangkapan dan penahanan atas Novel Baswedan karena tindakan tersebut ditengarai tidak bertujuan untuk penegakan hukum.

Selain itu, tim kuasa hukum juga menemukan beberapa pelanggaran administrasi dalam penanganan perkara kasus Novel, misalnya, bahwa Novel disangkakan dengan Pasal 351 Ayat 1 dan 3 KUHP, namun yang dijadikan dasar penangkapan adalah surat perintah penyidikan (Sprindik) lain yang memuat pasal berbeda yaitu Pasal 351 Ayat 2 dan Pasal 442 jo Pasal 52 KUHP.

Kejanggalan juga terlihat dalam Surat Perintah Kabareskrim No. Sprin/1432/Um/IV/2015 tertanggal 20 April 2015 yang menjadi salah satu dasar dikeluarkannya surat perintah penangkapan dan penahanan.

Hal ini dinilai tidak lazim karena dasar menangkap dan menahan seseorang adalah surat perintah penyidikan, sedangkan Kabareskrim bukan bagian dari penyidik yang ditunjuk untuk melakukan penyidikan.

Untuk itu pihak Novel menuntut dilakukannya audit kinerja penyidik Polri karena disinyalir terdapat pembangkangan hukum dalam penanganan kasus tersebut dengan adanya perbedaan antara perintah Presiden Joko Widodo dan pernyataan Kapolri tentang tidak adanya penahanan dengan fakta penahanan Novel.

"Direktur Tindak Pidana Umum yang membawahi penyidik lebih mendengarkan perintah Kabareskrim dibandingkan Kapolri dan Presiden," papar pengacara Novel, Asfinawati.

Kuasa hukum Novel juga meminta hakim memerintahkan Polri untuk meminta maaf kepada Novel Baswedan dan keluarga melalui pemasangan baliho yang menghadap ke jalan.

Dalam perkara ini, Novel diduga keras melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan atau seseorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapat keterangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 Ayat 2 KUHP dan atau pasal 422 KUHP Jo Pasal 52 KUHP yang terjadi di Pantai Panjang Ujung Kota Bengkulu tanggal 18 Februari 2004 atas nama pelapor Yogi Hariyanto.

Novel Baswedan dituduh pernah melakukan penembakan yang menyebabkan tewasnya Mulyadi Jawani alias Aan pada 2004.

Pada Februari 2004, Polres Bengkulu menangkap enam pencuri sarang walet, setelah dibawa ke kantor polisi dan diinterogasi di pantai, keenamnya ditembak sehingga satu orang yakni Mulyadi Jawani, tewas.

Novel yang saat itu berpangkat Inspektur Satu (Iptu) dan menjabat Kasat Reskrim Polres Bengkulu dianggap melakukan langsung penembakan tersebut.

Pewarta: Yashinta Difa P.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015