Sebagian besar orang Indonesia masih sangat mempercayakan kesembuhan pada suatu penyakit  pada Antibiotik sehingga setiap sakit meski ringan pun orang tetap minum Antibiotik.  

Terlalu sering minum Antibiotik dapat mengakibatkan resistensi antimikroba. Mikroba atau bakteri yang dapat menimbulkan penyakit menjadi kebal terhadap obat yang diberikan yang mengakibatkan  pengobatan menjadi lebih lama dan lebih sulit dilakukan.

Resistensi atau kekebalan terhadap antimikroba, termasuk antibiotik merupakan ancaman serius bagi dunia kesehatan. Semua pihak perlu menyadari pentingnya melakukan upaya bersama untuk mengendalikannya demi keselamatan manusia.

Hal tersebut  diungkapkan oleh Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek, Sp.M(K) ketika membuka seminar berjudul “Cegah Resistensi Antibiotik Demi Selamatkan Manusia” yang merupakan kegiatan hasil kerja sama antara Kementerian Kesehatan RI, World Health Organization (WHO), dan Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), di Balai Kartini  (5/8).

Seminar ini juga memaparkan studi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang menunjukkan bahwa kebijakan terkait resistensi antimikroba di Indonesia belum dapat menyelesaikan atau meminimalkan permasalahan mengenai resistensi ini. 

Koordinasi lintas sektor terkait masalah resistensi antimikroba juga belum terealisasi.

Permasalahan resistensi antimikroba ini telah menjadi permasalahan sangat serius di tingkat global, dan menjadi salah satu tantangan terbesar dunia kesehatan. 

Meskipun resistensi antimikroba itu sendiri merupakan sebuah fenomena alam, sebenarnya penyebab utama kejadian resistensi adalah karena penggunaan antibiotik yang tidak bijak pada manusia dan hewan. 

Adanya resistensi antibiotik menyebabkan penurunan kemampuan antibiotik tersebut dalam mengobati infeksi dan penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan.
 
Akibatnya pengobatan menjadi akan menjadi lebih sulit dan membutuhkan biaya kesehatan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu resistensi antimikroba akan menimbulkan kerugian yang luas, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi.

Dr Khanchit Limpakarnjanarat, Perwakilan WHO untuk Indonesia, menyampaikan laporan terakhir WHO berjudul “Antimicrobial Resistance: Global Report on Surveillance” yang menunjukkan bahwa angka infeksi oleh bakteri yang resisten, khususnya oleh kelompok bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap Methicillin (MRSA), tertinggi di Asia Tenggara sehingga fungsi antibiotik terhadap bakteri tersebut menurun.

Sementara menurut dr. Hari Paraton, Sp. OG (K), selaku Kepala Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), terjadinya resistensi antibiotik ini, bisa disebabkan oleh banyak hal. Namun, yang paling sering terjadi, adalah konsumsi antibiotik yang tidak bijak dan berlebihan. 

Lebih lanjut, Hari Paraton, menjabarkan lebih lanjut beberapa contoh penyakit yang memang harus diobati dengan antibiotik. 

"Penyakit-penyakit akibat infeksi kuman dan bakteri, seperti typhus, disentri karena amuba itu diobati dengan antibiotik. Namun, kalau akibat virus, seperti batuk dan pilek tidak usah. Tumor juga bukan infeksi, ya tidak usah," papar Hari.

Penyakit akibat virus, lanjut Hari, cukup diatasi dengan parasetamol atau dibiarkan hingga sembuh. "Tidak usah antibiotik karena nanti malah terjadi proses inisiasi kuman yang resisten terhadap obat di dalam tubuh,"  lanjut Hari.

Tanpa kesadaran dan dukungan semua pihak termasuk masyarakat,  Indonesia akan mengalami kesulitan dalam  membangun program yang berkelanjutan untuk mengatasi kekebalan kuman terhadap Antibiotik. 

Selain penggunaan antibiotik yang bijak , diperlukan pula tindakan pencegahan penyebaran dari pasien yang terinfeksi bakteri resisten ke lingkungan sekitarnya yaitu dengan cuci tangan.  

Gerakan cuci tangan tidak hanya diperlukan bagi tenaga pelayan kesehatan tapi juga masyarakat.

Berita dan info kesehatan lainnya dapat  dilihat lebih lanjut di www.depkes.go.id  dan  www.sehatnegeriku.com

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2015