Jakarta (ANTARA News) - Presiden Jokowi saat membuka rapat kabinet terbatas untuk membahas Blok Masela di Istana Negara, Selasa (29/12), menekankan bahwa kita harus betul-betul memperhatikan amanat konstitusi kita yang menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Presiden Jokowi juga tidak ingin apabila pemanfaatan Blok Masela hanya menguntungkan segelintir orang saja. Blok di Maluku Selatan yang akan dimanfaatkan untuk menghasilkan Liquid Natural Gas (LNG) atau gas alam cair ini haruslah dinikmati seluruh rakyat Indonesia.

UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” memberikan mandat kepada negara untuk menguasai dan mengelola migas bagi kemakmuran rakyat. Untuk membawa migas dari perut bumi hingga distributor untuk berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat, pemerintah mengandalkan perusahaan asing seperti Chevron, Total, Inpex, ConocoPhillips, British Petroleum dan sebagainya; BUMN seperti Pertamina; dan perusahaan nasional seperti Medco.

Saat ini, manajemen migas Indonesia, dan di seluruh dunia, menghadapi tantangan sulit ditengah kondisi rendahnya harga minyak dunia yang menyentuh level terendah di bawah US$35. Bahkan baru-baru ini Goldman Sachs mengeluarkan prediksinya bahwa harga minyak dunia akan terus melemah hingga US$20 per barrel. Kondisi ini memaksa perusahaan-perusahaan migas, baik hulu maupun hilir, melakukan efisiensi demi menjaga kestabilan arus kas. Investor menjadi lebih berhati-hati untuk melakukan ekspansi investasi, meski di banyak level negara berusaha mencari solusi terbaik demi mengatasi krisis yang menurut Asosiasi Perminyakan Indonesia, IPA, dapat terjadi pada tahun 2019.

Produksi minyak di Indonesia terus menurun sejak tahun 2014 karena tidak adanya produksi minyak baru yang disusul oleh kondisi menuanya sumur minyak dan infrastruktur yang ada. Sementara di lain sisi, produksi gas Indonesia yang meski saat ini masih mencukupi kebutuhan domestik dan ekspor, diharapkan dapat naik dari 15% saat ini menjadi setidaknya 25% pada tahun 2025. Namun, kenyataan di lapangan banyak investor semakin mengkerut akibat berbelit-belitnya peraturan hukum negara, negosiasi pengambilan keputusan tanpa akhir, yang bermuara pada hilangnya rasa aman bagi para pengusaha untuk menempatkan modal besar investasi dalam negeri.

Contoh sederhana panjangnya perdebatan publik akan proses pengambilan keputusan pengelolaan blok gas Masela. Pengajuan rencana pengembangan (PoD) yang telah disepakati di tahun 2010, namun kemudian harus direvisi di 2015 mengikuti perkembangan ditemukannya cadangan gas lebih tinggi, dinilai terlalu lama karena banyaknya noise yang mengganggu fokus SKK Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menentukan arah kebijakan. Dalam kondisi idle seperti ini, ketidakpastian menjadi ongkos operasional yang sangat mahal bagi manajemen, karena sulitnya untuk memastikan pengambilan keputusan strategis.

Setelah mendapatkan rekomendasi dari konsultan yang ditunjuk oleh negara, Poten & Partners, bahwa konsep FLNG yang terbaik untuk pengelolaan blok Masela, pengambilan keputusan masih digodok lebih dalam lagi, salah satunya melalui rapat kabinet terbatas pagi ini. Poin penting yang ditekankan oleh Presiden Jokowi adalah bagaimana agar proyek ini bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada rakyat, terutama lokal. Dan yang kedua, bagaimana agar proyek ini mampu mengedepankan pembangunan maritim.

Menurut Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch,konsep FLNG (Floating Liquid Natural Gas) juga memiliki dampak mulitiplier, tidak hanya di level lokal, namun juga mampu meningkatkan pembangunan kapasitas nasional dengan lebih cepat, termasuk di sektor maritim. Namun, pemerintah harus meminta kepastian dari Inpex dan Shell sebagai kontraktor agar mereka mau berkomitmen membangun galangan kapal serta berinvestasi di industri lain agar bisa menghasilkan multiplier effect ke masyarakat.

"Jika komitmen ini bisa mereka (kontraktor) kerjakan makanya pilihan FLNG adalah yang paling baik. Masyarakat akan merasakan dampaknya lebih lama lagi jika dibandingkan dengan onshore yang mana hanya bisa memperkerjakan banyak orang pada saat proyek itu berjalan," jelas Mamit melalui pesan singkatnya.

Prof Dr Ketut Buda Artana ST, Wakil Rektor IV Bidang Penelitian Inovasi dan Kerja Sama Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), menambahkan bahwa bahwa konsepsi pengembangan infrastruktur berbasis darat yang selama ini dianut oleh bangsa kita, sudah waktunya di re-allign mengingat kenyataan kita sebagai negara maritim berbasis kepulauan.

Sejalan dengan Ketut, Senior Manager Communication and Relation Inpex Corporation, Usman Slamet memastikan bahwa dengan dikembangakan FLNG (Floating Liquid Natural Gas) di Indonesia akan memberikan dampak multiplier yang besar, terutama dalam mendukung mimpi pemerintah untuk mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim.“ kami memahami bahwa pemerintah sedang melakukan kajian yang mendalam terhadap usulan perubahan pod-1 pengembangan lapangan gas abadi. Dan kami berharap pemerintah dapat segera memberikan keputusan yang terbaik bagi seluruh pemangku kepentingan.

"Komitmen kami adalah proyek pengembangan lapangan gas abadi akan memberikan manfaat sebesar besarnya bagi rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam undang undang dasar negara kita dan kami menghargai seluruh upaya yang telah dilakukan untuk memberikan keputusan terbaik," demikian pernyataan tertulis Usman Slamet yang diterima di Jakarta, Selasa. (adv)

Pewarta: -
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015