Bogor (ANTARA News) - Para jurubahasa dan penerjemah dari berbagai kawasan, seperti Asia, AS, Timur Tengah dan Eropa, bertemu di Bogor, Jawa Barat, dalam konferensi antarbangsa selama dua hari untuk membahas bagaimana membangun jembatan antarbudaya melalui penerjemahan bahasa dalam rangka menghadapi arus globalisasi. Acara bertajuk "Forum Penerjemah Asia ke-5" FIT (Federation Internationale des Traducteurs) yang digagas Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) itu, Rabu, sedianya akan dibuka oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Fuad Hassan, namun berhalangan dan hanya dibacakan sambutannya oleh panitia penyelenggara. Hadir pula dalam kesempatan itu Ketua Umum FIT, Dr Peter W Krawutsche dari AS, dan Dr Hannelore Lee-Jahnke dari Universitas Jenewa, yang sempat memberikan paparan "Anything New in Translation Didactis?". Ketua Umum HPI, Prof (Emeritus) Dr Benny H Hoed -- yang juga berhalangan hadir saat pembukaan karena sakit -- dalam pernyataannya mengemukakan bahwa penyelenggaraan konferensi itu merupakan momentum yang sangat baik bagi para penerjemah, jurubahasa dan ahli terminologi Indonesia untuk belajar dan berbagi pengalaman. Ia mengemukakan peningkatan mutu profesiona para penerjemah merupakan prasyarat mutlak bila bangsa Indonesia ingin mampu bersaing menghadapi globalisasi. "Karena selama ini masih banyak keluhan terhadap produk terjemahan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia," kata Benny Hoed, yang saat ini juga Guru Besar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) itu. Sementara itu, salah satu anggota HPI, Kukuh Sanyoto saat ditanya mengenai hubungan globalisasi berkaitan dengan peran penerjemah, menyatakan bahwa tidak semua masyarakat pada suatu bangsa, termasuk di Indonesia, mampu mendapat manfaat untuk memahami bahasa asing. "Nah, sebagian masyarakat yang tidak mendapatkan manfaat itulah yang kemudian dapat dijembatani oleh jurubahasa dan penerjemah," katanya. Ia memberi contoh sebuah program untuk mengentaskan masyarakat miskin yang sangat global, termasuk bagaimana upaya petunjuk teknis panduannya, umumnya berbahasa asing, sehingga perlu diterjemahkan dalam bahasa yang dimengerti masyarakat hingga akar rumput. "Dalam penerjemahan itu bukan sekedar mengalihbahasakan dari bahasa asli, namun lebih dari itu juga dibutuhkan pemahaman konteks, dan di sinilah diperlukan kualitas profesionalisme dari penerjemah," katanya. Guna meningkatkan kualitas itu, maka HPI juga melakukannya dengan pelatihan-pelatihan periodik, sehingga kemampuan para penerjemah di Indonesia semakin baik. Hingga kini, jumlah penerjemah yang tercatat di HPI masih sedikit, yakni hanya di kisaran angka 100, sehingga masih dibutuhkan tenaga penerjemah. (*)

Copyright © ANTARA 2007